Rabu, 17 Juli 2019

Menengok Pondok Pesantren 'Anak Broken Home' di Bandung Barat



Bandung Barat - Lantunan surat Al Mulk terdengar dari mulut Rafi Alghiffari (15). Ia membaca surat 30 ayat itu dengan lantang, meski hanya mengandalkan ingatannya.

Di sebelahnya duduk seorang ustaz yang mendengarkan secara seksama tiap butir ayat yang terucap. Sementara itu, ada tiga santri lainnya yang siap untuk diuji hafalannya siang itu.

Anak-anak itu merupakan yatim piatu dan anak korban perceraian yang menimba ilmu di Pondok Alquran Baitul Jannah. Sudah hampir tujuh bulan mereka 'mondok' di bangunan bekas rumah makan itu.


Baitul Jannah merupakan pondok Alquran yang didirikan oleh Yopi Firmansyah dan Irvan Nur Ulum pada Januari 2019 lalu. Di tempat ini, anak-anak yatim piatu, duafa, dan anak broken home bisa menimba ilmu secara gratis.

Pondok ini terletak di Kampung Pageurmaneuh, Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Lokasinya berada jalur alternatif wisata Bandung - Lembang.

"Di sini ada 30 santri yang menetap dan 60 santri lainnya yang 'ngalong' (pulang pergi), di sini kami mendidik anak-anak SD dan SMP," kata Yopi kepada wartawan di Baitul Jannah, Rabu (17/7).

Berasal dari keluarga broken home dan pernah hidup di jalanan, menggerakkan Yopi untuk membuat pondok Alquran bagi anak-anak yang tidak beruntung. Ia tak ingin anak-anak itu merasakan kepedihan yang pernah dialaminya.

"Saya awalnya punya uang tabungan untuk menyekolahkan tiga anak saya, tapi kemudian saya terpikir untuk membuat sekolah saja untuk anak-anak saya, sekaligus menolong anak-anak lainnya," ujar Yopi.

Ternyata, respons yang didapatkan sangat positif. Belum genap satu bulan, sudah puluhan anak atau orang tua yang ingin mendaftar. 

"Saya keliling ke RT dan RW di Lembang, alhamdulillah banyak yang ingin masuk," kata Yopi.

Menjalankan program pendidikan gratis tak serta merta berjalan mulus. Masalah biaya kerap mengadang para pengurus dalam memberikan pengayoman.

"Kami mengontrak bangunan ini Rp 60 juta setahun, dan baru terbayar Rp 20 juta," ucapnya.

Alhasil, Yopi dan pengurus lainnya pun harus memutar otak untuk mencari uang operasional. Selama ini, pondok berjalan dengan mengandalkan uang hasil usaha Yopi dan pengurus lainnya, juga bantuan dari para donatur.

"Anak-anak juga diberi makan tiga kali sehari, saya ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Walau biaya untuk bahan makanan saja sebulan kami bisa habis Rp 18 juta lebih, belum bayar listrik, hampir Rp 20 juta per bulan," tuturnya.

"Alhamdulillah untuk biaya masaknya, kami dibantu oleh tetangga yang peduli, jadi jasa masaknya gratis, kami hanya beli bahannya saja, tapi ya masih cukup berat," Yopi menambahkan.

Ada dua asrama yang diperuntukkan untuk santri dan santriwati di lantai pertama. Sayangnya, karena terbatasnya lahan membuat sebagian santri terpaksa tidur di dalam tenda.

"Saya selalu berikan pemahaman kepada anak-anak untuk bersyukur, karena saudara kita di Palestina, jangankan untuk makan dan berteduh, untuk minum saja sulit," kata Yopi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar