Senin, 31 Mei 2021

TENTANG RUKUN IMAN

 Iman dalam Islam merupakan dasar atau pokok kepercayaan yang harus diyakini setiap muslim. 

Jika tak memiliki iman, maka seseorang dianggap tidak sah menganut Islam.

 Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab RA, ketika malaikat Jibril menyaru menjadi seorang laki-laki, ia bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: " ...

Beritahukan kepadaku tentang Iman' Rasulullah SAW menjawab 'Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.' Orang tadi [Jibril] berkata, 'Engkau benar'," (H.R. Muslim). 

Hadis di atas menjelaskan enam rukun Iman yang mesti diyakini seorang muslim sebagai berikut:

Iman pada adanya Tuhan Allah Yang Maha Esa.

Iman pada adanya malaikat Allah SWT. 

Iman pada adanya kitab-kitab Allah SWT. Iman pada adanya rasul-rasul Allah SWT. 

Iman pada adanya hari kiamat. Iman pada qada dan qadar, adanya takdir baik dan buruk ciptaan Allah SWT. 

Dalam buku Rukun Iman (2012), Hudarrohman menjelaskan bahwa iman menjadi sah ketika dilakukan dalam tiga hal, yaitu iman yang diyakini dalam hati, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. 

Aspek-aspek rukun iman dalam Islam dijelaskan dalam uraian sebagai berikut: 

1. Iman kepada Allah SWT Iman kepada Allah SWT dilakukan dengan mempercayai dan meyakini bahwa Allah itu benar-benar ada, kendati seseorang tidak pernah melihat wujud-Nya atau mendengar suara-Nya.

Untuk beriman kepada-Nya, seorang muslim harus mengetahui sifat-sifat-Nya, baik itu sifat-sifat wajib, jaiz, atau mumkin, atau dapat juga dilakukan dengan mengenal 99 Asmaul Husna yang tertuang dalam Alquran atau hadis. 

2. Iman kepada Malaikat Allah SWT Iman kepada malaikat Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa malaikat itu benar-benar ada. 

Seorang muslim mesti meyakini adanya malaikat kendati tidak pernah melihat wujudnya, mendengar suaranya, atau menyentuh zatnya. 

Perintah mengimani malaikat ini tertera dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 285: "Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya," (QS. Al-Baqarah [2]: 285). 

10 Nama-Nama Malaikat dan Tugasnya Menurut Agama Islam

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah SWT Iman kepada kitab-kitab Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah menurunkan kitab kepada utusan-Nya. 


Al-quran adalah kitab suci umat Islam. 

Kehadirannya adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan merupakan prinsip-prinsip dasar untuk semua masalah kehidupan. 

Al-quran juga berfungsi sebagai panduan hidup di dunia dan akhirat. 

Perjalanan Al-quran, mulai pertama kali diturunkan hingga sekarang mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang, melewati periode lebih dari 1400 tahun lampau. 

Kendati berusia panjang, tidak seperti kitab-kitab suci lainnya yang terdistorsi, Allah SWT menjamin keutuhan dan keaslian Al-quran, sebagaimana firman-Nya: 

"Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-quran dan Kamilah yang memeliharanya," (QS Al Hijr [15]: 9).

 Dilansir dari NU Online, di masa kenabian, Al-quran diturunkan dalam dua cara. 

Pertama, Al-quran diturunkan secara lengkap di malam Lailatulqadar dari Lauh Al-Mahfudz ke Baitul Izzah atau langit dunia pada bulan suci Ramadan. 

Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Qadr ayat pertama: "Sesungguhnya kami telah menurunkannya [Al-quran] pada malam kemuliaan [Lailatulqadar]," (Al-Qadr [97]: 1).

Kedua, usai diturunkan di langit dunia, lalu wahyu Al-quran ini diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan konteks dan kebutuhan, selama kira-kira 23 atau 25 tahun. 

Ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, sekaligus juga tanda pengangkatannya sebagai Rasululullah SAW adalah surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berisi perintah membaca (Iqra!).

Sejarah Periodisasi Al-quran Sepanjang perjalanan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, para ulama membagi sejarah Al-quran dalam dua periode, yaitu periode sebelum hijrah dan periode selepas hijrah.

Ayat-ayat Al-quran yang turun sebelum hijrah dikenal dengan sebutan ayat-ayat makiyah, sementara ayat-ayat Al-quran yang turun usai hijrah dikenal dengan ayat-ayat madaniyah.

 Yusuf Hasyim dalam buku Akidah Akhlak (2020) menjelaskan sejarah periodisasi Al-quran sebagai berikut: 

1. Periode Sebelum Hijrah dan Ayat-ayat Makiyah Pada periode sebelum hijrah, ayat-ayat Al-quran diturunkan selama Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah. Karena itulah, ayat-ayatnya dinisbatkan ke lokasi turunnya wahyu yaitu di Makkah. Ayat-ayatnya diberi julukan sebagai ayat-ayat makiyah. 

Di periode pertama ini, terdapat 86 surah makiyah yang diturunkan selama 12 tahun lima bulan. 

Sebagaimana disebutkan di atas, wahyu pertama diturunkan pada 17 Ramadan 610 M di Gua Hira ketika Nabi Muhammad SAW menyendiri dari kaumnya. 

Pada umumnya, isi ayat-ayat makiyah berkenaan dengan akidah dan penguatan tauhid.

 Wahyu Al-quran di periode sebelum hijrah merupakan pokok ajaran Islam untuk mengokohkan keimanan umat yang ditindas oleh orang-orang kafir Quraisy.

 2. Periode Selepas Hijrah dan Ayat-ayat Madaniyah Pada periode kedua ini, ayat-ayat Al-quran diturunkan selama Nabi Muhammad SAW berdakwah di Madinah. 

Karena itulah, ayat-ayatnya dinisbatkan ke lokasi turunnya wahyu yaitu di Madinah. Ayat-ayatnya diberi julukan sebagai ayat-ayat madaniyah. Di periode kedua ini, terdapat 28 surah yang turun selama 9 tahun 9 bulan.

 Karena pengokohan iman sudah dijelaskan melalui ayat-ayat makiyah, maka usai hijrah, ayat-ayat madaniyah umumnya berkaitan dengan muamalat, syariat, dan hukum-hukum Islam. Di periode ini, ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat 

3 dalam surah Al-Maidah ketika Nabi Muhammad SAW melakukan haji Wada' sekaligus penutup dari wahyu Al-quran.

 "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam menjadi agamamu,” (QS. Al-Maidah [5]:

 3). Sejarah Pembukuan Al-Quran Di masa Rasulullah SAW, Al-quran belum terkumpul rapi seperti sekarang. 

Ketika wahyu diturunkan, Nabi Muhammad SAW membacakannya pada para sahabat, baik untuk langsung ditulis atau dihafalkan. 

Usai Rasulullah SAW meninggal, terdapat kebutuhan untuk membukukan dan menstandardisasi Al-quran agar tetap utuh dan terjaga keotentikannya. 

Penjelasan mengenai sejarah pembukuan Al-quran dijelaskan dalam uraian berikut ini: 

1. Al-quran di Masa Nabi Muhammad SAW Salah satu alasan Al-quran belum dibukukan pada masa kenabian adalah proses perjalanan wahyu yang masih berlangsung selama hidup Nabi Muhammad SAW. Ketika wahyu diturunkan, Rasulullah SAW kemudian membacakannya kepada para sahabat, serta meminta beberapa orang untuk menuliskan wahyu tersebut.

 Sahabat-sahabat penulis wahyu itu di antaranya adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Kaab, dan lain sebagainya. Media tulis yang digunakan saat itu adalah pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit bintang, kayu, pelana, potongan tulang binatang, dan lain sebagainya. 

Selain langsung dituliskan, banyak sahabat yang langsung menghafalkannya ketika dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena itulah, pengumpulan Al-quran di masa kenabian ini dikenal dengan dua cara, yaitu melalui tulisan (jam'u fi as-suthur) dan melalui hafalan (jam'u fi ash-shudur). 

2. Al-quran di Masa Kekhalifahan Rasyidin Usai Rasulullah SAW meninggal, terpilihlah khalifah-khalifah pengganti beliau di masa Kekhalifahan Rasyidin. Di waktu inilah, para khalifah, dimulai dari Abu Bakar As-Shiddiq hingga Utsman bin Affan merasa perlu untuk mengumpulkan dan membukukan Al-quran menjadi kesatuan yang utuh. 

Awalnya, kebutuhan untuk membukukan Al-quran ini dirasa sangat penting usai perang Yamamah di masa khalifah Abu Bakar. 

Pada perang itu, banyak dari para hafiz atau penghafal Al-quran dari para sahabat mati syahid. 

Khawatir Al-quran akan bernasib sama seperti kitab-kitab suci lain yang banyak terdistorsi karena telat dibukukan, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar Al-quran segera dikumpulkan. 

Kendati awalnya ragu-ragu, namun akhirnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu di masa kenabian agar memimpin proyek pengumpulan Al-quran tersebut. 

Dalam uraian "Sejarah Al-Quran" yang ditulis Cahaya Khaeroni disebutkan bahwa Zaid ibn Tsabit menerapkan empat prinsip dalam proyek pengumpulan Al-quran: Ayat yang diterima hanya yang ditulis di hadapan Rasulullah; Ayat Al-quran ditulis dari hafalan para sahabat; Ayat Al-quran tidak akan ditulis, kecuali disetujui oleh dua orang saksi bahwa ayat itu pernah ditulis di hadapan Rasulullah; dan- Hafalan Al-quran para sahabat tidak diterima, kecuali yang telah mereka dengar langsung dari Rasulullah SAW. 

Usai Al-quran dibukukan, kemudian dilakukan standardisasi di masa khalifah Utsman bin Affan. 

Perbedaan dialek (lahjah) kemudian disatukan oleh Utsman agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. 

Karena itulah, mushaf yang umum ditemui sekarang dikenal dengan cara penulisan Utsman atau Rasm Utsmani. Perjalanan panjang sejarah penulisan Al-quran ini makin mengokohkan keotentikan Al-quran. Bukti bahwa Al-quran merupakan kitab suci ilahi ini dijelaskan dalam surah Hud ayat 13: "Bahkan mereka mengatakan, 'Dia [Muhammad] telah membuat-buat Al-quran itu.' Katakanlah, '[Kalau demikian], datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya [Alqur'an] yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar," (QS. Hud [11]: 13). 

Allah SWT menantang jika ada yang berani mengingkari kebenaran Al-quran, maka diminta untuk membuat surah seperti surah Al-quran. 

Namun, kendati mushaf Al-quran sudah tersebar di berbagai tempat di belahan dunia, namun tak seorang pun yang bisa membuat semacam Al-quran. Hal ini menandakan bahwa Al-quran benar-benar otentik dan berasal dari Allah SWT.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Turunnya Al-Qur'an dan Keistimewaannya", 

Kitab ini merupakan pedoman, petunjuk kebenaran dan kebahagiaan, baik itu di dunia maupun akhirat. Keberadaan kitab-kitab Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hadid ayat 25: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca [keadilan] supaya manusia dapat melaksanakan keadilan,” (QS.Al-Hadid [57]: 25). Dengan beriman kepada kitab Allah, seorang muslim membenarkan secara mutlak bahwa kitab-kitab itu merupakan firman Allah SWT.

Isinya adalah kebenaran yang wajib diikuti dan dilaksanakan.

 Dalam buku Rukun Iman (2007) yang diterbitkan Universitas Islam Madinah, disebutkan bahwa beriman kepada kitab Allah dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu beriman secara umum dan terperinci. 

Pertama, beriman secara umum artinya meyakini bahwa Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada rasul-Nya. Jumlahnya, tiada yang tahu kecuali Allah SWT sendiri. Kedua, beriman secara terperinci artinya mengimani kitab-kitab yang disebutkan Allah SWT secara spesifik dalam Alquran, seperti Taurat, Injil, Zabur, Alquran, serta Suhuf Ibrahim dan Musa. 4. Iman kepada Rasul-rasul Allah SWT Iman kepada rasul-rasul Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah benar-benar menurunkan rasul-Nya kepada suatu masyarakat tertentu untuk menyampaikan ajaran-Nya. 

Siapa saja yang mengikuti rasul-rasul itu akan memperoleh hidayah dan petunjuk. Sebaliknya, yang mengingkari Rasul-Nya akan tersesat. Keberadaan rasul Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hajj ayat 75: “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS.Al-Haj [22]:75). Baca juga: Tugas Rasul-Rasul Allah SWT sebagai Penyampai Wahyu kepada Manusia 

5. Iman kepada Hari Kiamat Iman kepada hari kiamat dilakukan dengan mempercayai bahwa suatu hari kehidupan di semesta akan musnah. Selepas itu, manusia akan dibangkitkan dari kubur, dikumpulkan di padang mahsyar, dan diputuskan ke surga atau neraka. Dalam surah Al-Infithar ayat 14 dan 15, Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan [hari kiamat],” (QS. Al-Infithar [82]:14-15).

 6. Iman kepada Qada dan Qadar Iman kepada qada dan qadar dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah SWT telah menetapkan takdir manusia, baik itu yang buruk maupun yang baik. 

Pertama, qada merupakan takdir atau ketetapan yang tertulis di lauh al-mahfuz sejak zaman azali. 

Takdir dan ketetapan ini sudah diatur oleh Allah SWT bahkan sebelum Dia menciptakan semesta berdasarkan firman-Nya dalam surah Al-Hadid ayat 22: “Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab [lauh al-mahfuz] dahulu sebelum kejadiannya,” (QS. Al-Hadid [57]: 22). Artinya, qada merupakan ketetapan Allah SWT terhadap segala sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. 

Hal ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Allah SWT telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi," (H.R. Muslim). 

Kedua, qadar adalah realisasi dari qada itu sendiri. Artinya, adalah ketetapan atau keputusan Allah SWT yang memiliki sifat Maha Kuasa (qudrah dan qadirun) atas segala ciptaan-Nya, baik berupa takdir yang baik, maupun takdir yang buruk. 

Jika qada itu ketetapan yang belum terjadi, maka qadar adalah terwujudnya ketetapan yang sudah ditentukan sebelumnya itu.

 Dilansir dari NU Online, karena qada dan qadar adalah perkara gaib, keduanya tidak bisa menjadi alasan seorang muslim bersikap pasif dan pasrah dengan takdirnya. 

Dengan beriman kepada qada dan qadar, seorang muslim tetap harus berikhtiar, berusaha, dan mengupayakan potensinya agar dapat terwujud, serta produktif di kehidupan sehari-hari.

Baca selengkapnya di artikel "Pengertian Rukun Iman dan Penjelasan 6 Aspeknya dalam Agama Islam", 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar