Kamis, 29 April 2021

Puasa adalah Perisai


Assalamualaikum.Wr.Wb

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الذِّي أَرْسَلَ رَسُولَهُ شَاهِدًاوَمُبَاشِرًاوَنَذِيْرًاوَّدَاعِيًاإِلَى اللَهِ بِإِ ذْنِهِ وَسِرَا جًامُنِيْرًااَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِمْ عَلَى عَبْدِ كَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِ نَامُحَمَّدِوَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ نَالُوْاخَيْرًا.أَمَابَعْدُ

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya untuk menjadi saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan serta dan untuk penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. 

Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada hamba dan utusan-Mu Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya yang memperoleh kebaikan.

Puasa hari ke-19 Ramadan merupakan kesempatan bagi umat muslim guna mulai memperbanyak amalan ibadah.

Sebab, hari tersebut menjadi tanda bahwa Ramadan menuju 10 malam terakhir. 

Merujuk salah satu hadis, Aisyah R.A berkata: "Pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya," (HR Muslim). 

Saat memasuki 10 malam terakhir di bulan ramadan, salah satu ibadah yang dapat dilaksanakan ialah iktikaf atau berdiam diri di dalam masjid disertai berzikir dan berdoa. 

Di sebuah hadis, Rasulullah bahkan menyamakannya dengan iktikaf bersama beliau. "Siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka beriktikaflah pada sepuluh malam terakhir," (HR Ibnu Hibban). 

Hukum Iktikaf di Rumah Hukum ibadah iktikaf adalah sunah.

 Anjuran melaksanakan iktikaf, terutama pada bulan Ramadan, merujuk pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa ia berkata: 

"Nabi Muhammad SAW melakukan iktikaf di 10 hari terakhir dari Ramadan, [beliau melakukannya] sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan iktikaf setelah beliau wafat," (HR. Muslim).

Tujuan iktikaf adalah beribadah kepada Allah SWT. Dengan menetapkan waktu khusus di masjid, seseorang diharapkan dapat lebih khusyuk melakukan ibadah daripada di rumah.

Melalui iktikaf, seorang muslim bisa memakmurkan masjid pada bulan Ramadhan, sambil berzikir, bermuhasabah, mengharapkan rahmat dan ridha Allah SWT, mendengarkan ceramah agama, serta bergaul dengan orang-orang saleh. 

Adapun beberapa rukun iktikaf ialah niat, berdiam diri di dalam masjid, adanya masjid, dan orang yang menjalankan iktikaf.

 Namun, di tengah masa pandemi Covid-19, demi menghindari penularan virus corona, terutama di daerah rawan, apa sah melaksanakan iktikaf di rumah? Mengutip penjelasan M. Ali Zainal Abidin di artikel "I’tikaf di Rumah Selama Ramadhan, Bolehkah?"

 yang dilansir NU Online, pembahasan tentang hukum iktikaf di rumah bisa merujuk ke penjelasan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi (juz 3 hlm. 3), sebagai berikut: "

Imam Abu Hanifah berkata, ‘Sah bagi wanita beriktikaf di masjid rumahnya, maksudnya ruangan di rumah yang digunakan untuk salat, dan tidak boleh bagi laki-laki beriktikaf di rumahnya. 

Senada dengan Abu Hanifah yakni Qaul Qadim (pendapat lama) Imam as-Syafi’i, meski dianggap pendapat yang lemah menurut para ashab. 

Sebagian ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i memperbolehkan itikaf di masjid rumah bagi laki-laki dan perempuan."

Apabila kondisi pandemi masih dinilai berbahaya maka pendapat ulama yang membolehkan iktikaf di rumah dapat dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia. 

Akan tetapi, dalam keadaan normal atau untuk daerah yang tidak rawan, sesuai dengan pendapat ulama empat mazhab (Hanafi, Syafi'i, Hanbali, dan Maliki), sebaiknya iktikaf dilakukan di masjid. 

Bacaan Doa Puasa Hari ke-19 Ramadhan Saat puasa Ramadhan sudah memasuki hari ke-19, umat Islam bisa membaca doa sebagai berikut yang dituliskan dalam bahasa Arab, tulisan latin, beserta terjemahannya. 

اَللَّهُمَّ وَفِّرْ فِيْهِ حَظِّيْ مِنْ بَرَكَاتِهِ وَ سَهِّلْ سَبِيْلِيْ إِلَى خَيْرَاتِهِ وَ لاَ تَحْرِمْنِيْ قَبُوْلَ حَسَنَاتِهِ يَا هَادِيًا إِلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ 

Latin: Allahumma wafir fîhi hadhdhî min barakâtihi wa sahhil sabîlî ilâ khairâtihi wa lâ tahrimnî qubûla hasanaâtihi yâ hâdiyan ilâl haqqil mubîn. 

Terjemahan: Ya Allah, sempurnakanlah bagianku di bulan ini dengan berkahnya, permudahlah jalanku untuk menempuh kebaikannya, dan janganlah Kau halangi diriku untuk menerima kebaikannya, wahai Penunjuk Jalan kepada kebenaran yang nyata


Rosululloh bersabda:
نَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
“Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
 
Analisa hadist diatas, kurang-lebih artinya saat seseorang menjalankan ibadah puasa. Secara otomatis maka akan senantiasa menjaga diri dari kemaksiatan dan perilaku yang tidak dibenarkan oleh Islam. Otomatisasi yang terjadi merupakan keistimewaan puasa bagi seorang mukmin. Puasa merupakan aktivitas yang sangat individual yang hampir tak seorangpun selain dirinya sendiri dan Allah SWT yang maha mengetahui yang menilai. Maka seseorang yang berpuasa hanya karena Allah SWT semata dan sesuai dengan syar’i yang dituntunkan Rosululloh yang akan mampu melindungi diri dari hal-hal yang membatalkan puasa termasuk perilaku maksiat, dengan demikian puasa yang benar akan membuahkan perisai diri sehingga seseorang akan terhindar dari neraka.

Pelajaran dari hadits diatas adalah puasa merupakan bentuk latihan WASKAT (pengawasan melekat). Implikasi puasa diharapkan seseorang mampu menjaga aktivitasnya dijalan yang lurus tanpa pengawasan atasan, berbuat baik bukan karena pujian, serta hasil pekerjaan/aktivitas merupakan konsekuensi logis dari mutu pekerjaan yang dilakukan (Puasa itu untukku, maka aku yang akan memberi pahalanya).

Puasa sebagai Perisai di Dunia dan Akhirat

Yang dimaksud puasa sebagai (جُنَّةٌ) (perisai) adalah puasa akan menjadi pelindung yang akan melindungi bagi pelakunya di dunia dan juga di akhirat.
Adapun di dunia maka akan menjadi pelindung yang akan menghalanginya untuk mengikuti godaan syahwat yang terlarang di saat puasa. Oleh karena itu tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk membalas orang yang menganiaya dirinya dengan balasan serupa, sehingga jika ada yang mencela ataupun menghina dirinya maka hendaklah dia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.”

Adapun di akhirat maka puasa menjadi perisai dari api neraka, yang akan melindungi dan menghalangi dirinya dari api neraka pada hari kiamat (Lihat Syarh Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).

Puasa Merupakan Perisai dari Siksa Neraka

Puasa akan menjadi perisai yang menghalangi dari siksa api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
 
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman, Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya” (H.R. Ahmad, shahih).
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
”Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari siksa neraka” (H.R. Ahmad, shahih).
 
Puasa Sebagai Perisai dari Berbuat Dosa

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan perkataan jelek yang merusak. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).
 
Perisai (جُنَّةٌ) adalah yang melindungi seorang hamba, sebagaimana perisai yang digunakan untuk melindungi dari pukulan ketika perang. Maka demikian pula puasa akan menjaga pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia, sebagaimana Allah berfirman,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).

Jika hamba mempunyai perisai yang melindunginya dari perbuatan maksiat maka dia akan memiliki perisai dari neraka di akhirat. Sedangkan bagi yang tidak memiliki perisai dari perbuatan maksiat di dunia maka dia tidak memiliki perisai dari api neraka di akhirat (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam).

Keutamaan Ini Mencakup Puasa Wajib dan Sunnah

Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, “Maksudnya puasa adalah penghalang antara dirinya dengan api neraka. Hal ini mencakup puasa yang wajib seperti puasa Ramadhan dan juga puasa sunnah seperti puasa enam hari di Bulan Syawal, puasa senin-kamis, puasa tiga hari setiap bulan, puasa Dzulhijjah, puasa ‘Arafah, dan puasa ‘Asyura” (Lihat Al-Minhatu Ar-Rabaniyyah fii Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah).

Inilah di antara keutamaan ibadah puasa, yang akan menjadi perisai yang melindungi seorang muslim di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memudahkan kita untuk menyempurnkan ibadah puasa dan meraih banyak pahala dan berbagai keutamaannya.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar