Jumat, 09 April 2021

Meninggal Namun Memiliki Hutang Puasa Ramadhan


Salah satu momen yang ditunggu oleh orang Mukmin di setiap tahunnya adalah menjemput kemuliaan bulan Ramadhan. Pada bulan ini, Allah swt melimpahkan segenap rahmat dan pahala bagi siapapun yang melakukan amal shalih.

Dan memang ketika itu kaum muslimin sangat dianjurkan untuk menambah laju amal saleh dari bulan-bulan sebelumnya, sebab inilah saat yang tepat untuk meraih rahmat dan predikat takwa dari Allah swt.

Meskipun dipenuhi dengan segala kebaikan dan keutamaan, namun tetap saja ada sebagian saudara Muslim yang tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadhan ini dengan berbagai alasan.

Beberapa sedang mengalami sakit, sedang safar, berusia lanjut dan tidak mampu lagi berpuasa, dan sebab syar'i lainnya. Dan mereka yang sakit -misalnya- ada yang diwafatkan oleh Allah swt sebelum sempat menunaikan puasa. Pun demikian dengan orang yang tidak sakit. Lalu bagaimana dengan gutang puasa (Ramadhan) yang masih tertinggal? Berikut bahasan singkatnya.

Jika seseorang mengalami sakit yang tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya, atau wanita dan laki-laki yang sudah berusia lanjut dan tidak mampu lagi berpuasa, maka tidak ada kewajiban qadla baginya. Kelompok seperti ini hanya diwajibkan memberi makan kepada orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pembayaran (fidyah) bisa dengan cara setiap hari atau menunda hingga selesai bulan Ramadhan, baik diberikan kepada satu orang miskin maupun dengan cara mengundang mereka sejumlah hari yang ditinggalkan.

Adapun suguhan atau pemberian makanan/hidangan yang lebih baik adalah pertengahan dari apa yang kita makan dan minum di setiap harinya (lihat at-Tadzhib, hal. 115). Dan apabila belum sempat melaksanakannya semasa hidup, maka kewajiban fidyah dilakukan oleh ahli waris. Hal ini sebagaimana riwayat:

عن سعيدِ ابنِ جُبير عن ابنِ عباسٍ قال إذا مَرِضَ الرجلُ في رمَضَانَ ثم ماتَ ولم يصُمْ أُطعِمَ عنه ولم يكن عليه قضاءٌ وإن كان عليه نذر قضى عنهُ وليُّه

"Apabila ada orang sakit ketika Ramadhan (kemudian dia tidak puasa), sampai dia wafat dan belum melunasi hutang puasanya, maka dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang puasa nadzar, maka walinya wajib mengqadlanya" (H.R. Abu Dawud no. 2401. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 2078)

Adapun jika seseorang mengalami sakit namun masih memiliki peluang untuk sembuh -dan orang yang sakit tidak diwajibkan untuk puasa di bulan Ramadhan- maka ia wajib untuk mengqadla di hari yang lain di luar Ramadhan. Namun apabila tidak bisa melaksanakan qadla karena terus berlanjut sakit dan atau meninggal, maka tidak ada kewahiban apapun terhadap orang ini maupun ahli warisnya, baik fidyah maupun qadla (lihat 'Aun al-Ma’bud, VII: 26).

Hal ini mengingat memberi makan (al-ith’am) merupakan ibadah pengganti dari puasa. Sedangkan orang yang sakit tidak diwajibkan untuk berpuasa, sehingga demikian juga halnya dengan ibadan pengganti, yaitu memberi makan kepada orang miskin.

Adapun bagi yang memiliki kelapangan untuk mengqadla puasa namun tidak dilakukan hingga ia meninggal dunia, maka DISUNNAHKAN/DIANJURKAN (mustahab) bagi ahli warisnya atau kerabat untuk berpuasa atas nama orang yang meninggal atau memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan (lihat Ahkam al-Janaiz, hal. 170, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, VIII: 26, ‘Aun al-Ma’bud VII: 26).

Dan inilah makna dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Siapa saja yang mati dan masih punya utang puasa maka dipuasakan oleh walinya (kerabatnya)" (HR. al-Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (III/241, 341) menerangkan, orang yang meninggal dan masih mempunyai hutang puasa (Ramadhan) tidak terlepas dari dua keadaan:

  1. Seseorang meninggal dan belum mengqadla puasa, baik karena sempitnya waktu, udzur sakit, safar, atau tidak mampu (‘ajzun) untuk berpuasa dan sebab udzur syar’i yang lainnya. Orang yang meninggal dalam keadaan seperti ini tidak memiliki beban kewajiban apapun, baik qadla maupun fidyah menurut mayoritas ulama.

Sedangkan Thawus dan Qatadah mengatakan, wajib memberi makan orang miskin (fidyah). Dan pendapat yang lebih tepat untuk diamalkan adalah apa yang dipilih oleh mayoritas ulama (lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, VI: 343).

  1. Seseorang meninggal dunia dan belum mengqadla puasa, padahal ia memiliki kesempatan untuk melakukannya. Dalam hal ini, ia wajib memberi makan kepada orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan menurut pendapat mayoritas ulama atau dipuasai oleh walinya sebagaimana riwayat dari Aisyah.

Adapun puasa yang wajib diqadla oleh ahli waris atau kerabat adalah puasa nadzar. Hal ini sebagaimana riwayat:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى

"Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; “Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meningal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?". Beliau Shallallahu'alaihiwasallam berkata: “Ya”, Beliau melanjutkan: “Hutang kepada Allah lebih berhaq untuk dibayar".(H.R. al-Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148. Lihat pula Sunan Abi Dawud no. 3310)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتِ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنِ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُومِي

"Dari Ibnu Abbas; Ada wanita yang naik perahu di tengah laut. Dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah pun menyelamatkannya, namun dia belum sempat puasa hingga. Lalu kerabat perempuan wanita itu datang menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ia menceritakan kejadian yang dialami saudarinya. Lantas beliau saw bersabda: 'Berpuasalah (untuk saudarimu)" [H.R. Abu Dawud (3308), Ahmad (1861). Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ فَقَالَ اقْضِهِ عَنْهَا

"Dari Ibnu Abbas ra; Bahwa Sa'ad bin Ubadah ra bertanya kepada Nabi saw, ‘Sesungguhnya ibuku meninggal dan beliau memiliki hutang puasa nadzar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Lunasi hutang pusa ibumu" (H.R. al-Bukhari no. 2761).

Dan wajibnya qadla puasa nadzar juga pendapat yang dipegangi oleh imam Ahmad sebagaimana direkam oleh imam Abu Dawud. Beliau menyatakan:

سمعت أحمد بن حنبل قال لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر

"Saya mendengar Ahmad bin Hambal mengatakan: 'Tidak diqadha utang puasa mayit, kecuali puasa nadzar." (lihat Ahkam al-Janaiz, hal. 170).

Meski demikian, sebagian ulama memahami wajibnya qadla puasa tidak nya terbatas pada puasa nadzar mengingat keumumamn lafal hadits dari ‘Aisyah ra (lihat Fath al-Bari, IV: 193). Dan perlu juga diketahui bahwa hukum mengqadla puasa (Ramadhan) terhadap orang yang sudah meninggal dunia adalah Sunnah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, VIII: 26) dan wajib jika yang diqadla adalah puasa nadzar.

Kesimpulan: orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa terbagi dalam tiga keadaan

  1. Pertama, orang yang sebelum meninggal berada dalam kondisi sakit dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya tidak ada kewajiban qadla namun wajib membayar fidyah. Dan jika belum sempat menunaikan semasa hidup, maka fidyah ditunaikan setelah ahli waris atau kerabat selepas seseorang wafat.
  2. Kedua, orang yang sebelum meninggal mempunyai hutang puasa -karena sebab udzur syar'i- dan tidak mendapat keluasan untuk mengqadla hingga ia meninggal dunia. Orang dalam kondisi seperti ini tidak dibebankan kewajiban apapun berupa fidyah atau qadla, baik terhadap diri maupun ahli waris atau kerabatnya.
  3. Ketiga, orang yang wafat dan masih meningglkan hutang puasa, namun tidak bersegera menunaikan padahal ada keluasan dan kelapangan untuk mengqadlanya. Dan orang yang dalam keadaan seperti ini DISUNNAHKAN untuk ditunaikan hutangnya dengan cara dipuasai oleh wali atau kerabatnya sebanyak hari yang ditinggalkan, atau dengan memberi makan orang miskin. Namun apabila hutang yang ditinggalkan adalah puasa nadzar, maka walinya berkewajiban untuk mengqadla atas nama si mayit sebagaimana riwayat diatas.

Adapun berkaitan dengan tata cara qadla, Boleh beberapa hari qadla’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka -boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa.

Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi (lihat Taudlih al-Ahkam, II: 712). Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar