Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.”
Sesungguhnya saat ini kita hidup di era perkembangan ilmu materealis yang sangat dahsyat.
Manusia banyak menghasilkan sesuatu berupa alat-alat peradaban dan kemewahan yang terus berkembang dengan pesat.
Setiap hari selalu saja ada hal yang baru.
Perkembangan ini pula bersamaan dengan tingginya populasi pengidap penyakit yang jumlahnya mencapai bilangan yang mengkhawatirkan dengan berbagai macam penyakit.
Salah satu penyakit yang menjadi sorotan saat ini adalah penyakit hati, karena hati menjadi inti manusia.
Banyak dokter penyakit hati, konsultan, ahli bedah hati, ramuan obat hati bahkan praktik operasi hati untuk meringankan penderita penyakit hati.
Adapun manusia mempunyai hati lain yang tidak terlihat secara kasat mata, yang keadaan dan tempatnya tidak terputus dengan otot-otot hati yang dijelaskan dalam hadits berikut.
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging.
Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuhnya.
Dan, apabila segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya.
Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rusaknya hati yang pertama dapat mendatangkan kematian yang berbuntut hilangnya kehidupan dunia, maka rusaknya hati yang lain (yang kedua ini) menyebabkan rusaknya manusia secara keseluruhan, serta hilangnya kehidupan dunia dan akhirat.
Maka dari sinilah pembahasan adanya hati yang tidak terlihat.
Bencana besar bagi hati ini adalah orang yang memilikinya tidak merasa dengan penyakitnya, karena tidak ada tanda-tanda yang terlihat di tubuh sebagaimana keadaan yang tampak pada hati yang pertama.
Banyak ulama yang berdiri sesuai bagiannya untuk mempublikasikan kesadaran kesehatan dan mendidik manusia dalam bidang ini, seperti Hasan Basri, Haris Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Ghazali, dan lain-lainnya.
Adapun pada tulisan ini akan membahas obat hati yang sakit dari salah satu ulama dalam bidang ini, yaitu Ibnu Qayyim rahimahullah.
Berikut ringkasan pembahasan karya Ibnu Qayyim dari kitabnya yang berjudul Thibbul Qulub.
Cara mengobati hati yang sakit
Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa cara mengobati hati yang sakit karena dikuasai oleh nafsu yang mengarahkan kepada suu’ (keburukan) ada dua, yaitu: ”Melakukan muhasabah (perhitungan) atas nafsu dan tidak menuruti nafsu”. Hati akan hancur dikarenakan meremehkan muhasabah dan mengikuti nafsu.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan hadits dari Syadad bin Uwais bahwa Rasulullah bersabda:
“Orang yang cerdas adalah orang-orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.”
(HR. At Tirmidzi no 2459).
Adapun pada tulisan ini akan fokus membahas cara mengobati hati dengan poin pertama, yaitu melakukan muhasabah.
Al – Hasan berkata,
“Orang mukmin itu selalu mengurusi jiwanya.
Ia mengevaluasi dirinya karena Allah”. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
(QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Imam Ahmad menuturkan dari Wahab bahwasannya tertulis dalam hikmah Nabi Dawud,
“Hak bagi orang berakal adalah tidak lalai dalam empat waktu ini, yaitu waktu yang digunakan untuk bermunajah kepada Tuhannya, waktu yang digunakan untuk mengintrospeksi dirinya, dan waktu dia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikirkan yang halal dan menjadikan jiwanya terlihat indah.
Waktu yang keempat ini merupakan penolong pada semua waktu itu dan melimpahkan hati.”
Hal-hal Yang Dapat Membantu Muhasabah
Adapun hal-hal yang dapat membantu Muhasabah diri adalah:
1. kesadarannya bahwa setiap kali ia bersungguh-sungguh melakukan hal itu saat ini, maka ia akan istirahat dan merasa nyaman esok hari.
Setiap ia meremehkan hal itu sekarang, maka ia akan menghadapi hisab yang semakin berat kelak di akhirat;
2. keyakinan bahwa keuntungan perniagaan tersebut adalah Surga Firdaus dan melihat wajah Allah .
Sedangkan kerugiannya adalah terjerumus ke dalam neraka dan terhalang dari memandang Allah Jika orang-orang meyakini hal ini maka hisab menjadi mudah.
Muhasabah diri ada dua macam, yaitu muhasabah diri sebelum melakukan suatu perbuatan dan muhasabah setelah selesainya melakukan suatu perbuatan.
Muhasabah diri sebelum berbuat, hendaknya orang yang ingin memulai suatu pekerjaan mengawali dengan mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaanya dari pada meninggalkannya.
Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati hamba-Nya yang berhenti di saat berkeinginan.
Jika karena Allah, maka ia laksanakan dan jika karena selain-Nya, maka ia tinggalkan.”
Sebagian ulama menjelaskan arti ungkapan tersebut dengan mengatakan, “ Jika diri bergerak untuk melakukan suatu perbuatan dan ia sudah berkeinginan melakukannya, maka ia berhenti dan merenungkan, apakah perbuatan tersebut sanggup ia lakukan atau tidak?
Jika tidak sanggup ia lakukan, maka ia tidak melanjutkannya.
Tetapi jika sanggup ia lakukan, maka ia merenungkan hal lain,
apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya? Jika jawaban yang pertama, maka ia merenungkan hal ketiga, apakah yang mendorong perbuatan itu adalah keinginan mendapatkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atau keinginan mendapatkan pangkat, pujian, dan harta dari makhluk? Jika jawabannya yang kedua, maka ia membatalkan perbuatan itu meskipun itu yang akan mengantarkan pada apa yang ia cari, agar ia tidak terbiasa dengan perbuatan syirik dan tidak merasa ringan untuk melakukan perbuatan bukan karena Allah. Sesuai dengan keringanan yang ia rasakan dalam berbuat bukan karena Allah, maka seberat itu juga beratnya untuk berbuat karena Allah, bahkan ia menjadi amal yang terberat baginya. Tetapi jika jawabannya yang pertama, maka hendaknya ia merenungkan kembali, apakah ia akan ditolong dalam perbuatannya itu, dan ada orang-orang yang bersedia membantunya jika memang perbuatan itu membutuhkan pertolongan? Jika tidak ada yang menolongnya dalam perbuatan itu ia berhenti, sebagaimana Nabi berhenti dan menunda jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan para penolong. Jika ia mendapatkan orang yang menolongnya, maka ia pun melangsungkan pekerjaannya.”
Muhasabah yang kedua adalah muhasabah diri setelah selesainya pekerjaan, yangmana hal ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: Pertama, muhasabah diri atas ketaatan yang kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah, sehingga ia tidak melakukannya sesuai dengan sepantasnya. Adapun hak Allah dalam hal ketaatan ada enam, yaitu; 1) ikhlas dalam berbuat, 2) nasehat karena Allah dalam pekerjaan tersebut, 3) mengikuti Rasulullah, 4) memperlihatkan ihsan pada pekerjaan tersebut, 5) menampakkan karunia Allah pada pekerjaan tersebut, serta 6) menampakkan atas segala kekurangan dirinya dalam pekerjaan tersebut. Kedua, hendaknya menghisab dirinya atas pekerjaan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakannya. Ketiga, hendaknya menghisab dirinya atas hal-hal yang mubah atau yang biasa dilakukan, kenapa ia melakukannya? Apakah melakukannya karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat sehingga ia beruntung atau apakah ia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dengan segala ketergesaannya sehingga ia merugi dan tidak memenangkan ridha Allah. Adapun yang paling berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja dan memudahkan persoalan.
Manfaat Muhasabah
Muhasabah sangatlah mendatangkan banyak manfaat, diantaranya: mengetahui aib sendiri, merendahkan diri karena Allah, dan mengetahui hak Allah.
Mengetahui aib sendiri. Orang yang tidak mengetahui aib dirinya, tidak akan mampu menghilangkannya. Tetapi jika ia mengetahui aib dirinya, maka ia akan membencinya karena Allah. Abu Hafsh berkata, “Barangsiapa tidak berprasangka buruk kepada nafsunya sepanjang waktu, tidak menyelisihinya dalam setiap keadaan, serta tidak menyeretnya pada apa yang dibencinya sepanjang waktunya, maka orang itu telah terperdaya. Dan barangsiapa melihat kepada nafsunya dan menganggap baik sesuatu darinya, maka sesuatu itu telah menghancurkannya.”
Merendahkan diri karena Allah. Merendahkan diri karena Allah termasuk salah satu sifatnya orang – orang yang sangat jujur. Seorang hamba akan dekat kepada Allah dengan ia merasa lemah dengan amal perbuatannya. Imam Ahmad berkata dalam Kitab Zuhud-nya, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani Israel beribadah selama 60 tahun untuk suatu hajat tertentu, dan dia belum mendapatkannya.” Lalu dia bergumam di dalam hatinya, “Demi Allah, jika ada kebaikan dalam diri-Mu, maka aku pasti akan memperoleh hajatku.” Kemudian ia bermimpi dan dikatakan padanya, “Apakah kamu pernah merasa rendah di suatu waktu? Sesungguhnya hal tersebut lebih bagus daripada ibadahmu bertahun-tahun lamanya.”
Mengetahui hak Allah. Barangsiapa tidak mengetahui hak Allah atas dirinya, maka ibadah kepada-Nya hampir tak bermanfaat sama sekali dan ibadahnya sungguh sangat sedikit sekali manfaatnya. Diantara hak-hak Allah adalah Dia wajib ditaati dan tidak diingkari, Dia wajib diingat dan tidak boleh dilupakan, serta wajib disyukuri dan tidak boleh dikufuri.
Disebutkan oleh Imam Ahmad dari sebagian ahli ilmu, bahwasannya seseorang bertanya, “Berilah aku wasiat!” Ia menjawab, “Hendaknya engkau bersikap zuhud terhadap dunia, dan janganlah engkau melawan para penghuninya. Dan hendaklah kamu seperti lebah, jika ia makan hanya makan yang baik-baik, dan jika ia mengeluarkan sesuatu (dari dalam perutnya), maka ia hanya mengeluarkan yang baik-baik, jika ia bertengger di atas dahan maka tidak mebahayakan, dan tidak pula mematahkannya”.
Saudara-saudaraku, Maka hari ini saja, mari kita mulai mencoba muhasabah pada diri kita. Pandangilah seluruh anggota tubuhmu dan tanyakan pada setiap bagiannya atas apa saja yang telah dibicarakan? Kemana saja kaki ini melangkah? Apa yang telah diambil oleh kedua tangan? apa yang telah didengar oleh kedua telinga? Untuk apa ia lakukan semua itu dan untuk siapa? Serta atas dasar apa ia lakukan semua itu? Allah berfirman yang artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar