Puasa (Ramadhan) adalah momen yang dinanti oleh kaum Muslimin. Allah memberikan banyak keberkahan dan limpahan pahala bagi yang beramal shalih di dalamnya.
Munculnya beragam tradisi seperti saling berbagi makanan, mengundang kerabat dekat untuk buka bersama, atau memilih berbuka bersama anak yatim adalah ekspresi kegembiraan ketika berada di bulan Ramadhan selain dari menahan lapar dan dahaga serta nafsu kelamin di siang harinya.
Meskipun Ramadhan penuh dengan kebaikan dan keberkahan, tetap saja ada beberapa kelompok orang yang tidak lagi mampu menjalankan puasa, seperti orang yang sudah tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh menurut pertimbangan medis. Bagi mereka dikenakan kewajiban fidyah.
Hal ini sebagaimana firman Allah swt:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa yang diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu). Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (member makan kepada lebih dari seorang miskin untuk satu hari) maka itu lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui" [Q.S. al-Baqarah (2): 184].
Berkaitan dengan penafsiran kalimat "Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya (puasa)", Ibnu Abbas berkata:
عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلاَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
"Dari 'Atho, beliau mendengar Ibnu Abbas membaca dengan lafal يُطَوَّقُونَهُ dan bukan يُطِيقُونَهُ (pada surat al-Baqarah: 184). Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Lafal ini (يُطَوَّقُونَهُ) tidak dihilangkan (nasakh). Mereka adalah orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak mampu (lagi) berpuasa. Keduanya (laki-laki dan perempuan yang sudah tua wajib) member makan satu orang miskin pada setiap hari (yang mereka tidak puasa di dalamnya)" (H.R. al-Bukhari no. 4505).
Takaran Fidyah Puasa Ramadhan
Adapun ukuran fidyah, terdapat perbedaan ulama di dalamnya. Sebagian mengatakan takaran fidyah adalah satu mud. Sebagian lainnya mengatakan, ukuran fidyah adalah satu sho’ kurma, satu sho’ gandum, atau setengah sho’ biji gandum yang masing-masing dikeluarkan untuk satu hari puasa yang ditinggalkan untuk kemudian diberikan kepada orang miskin (Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, VIII: 21 dan al-Maushu'ah al-Fiqhiyyah, fatwa no. 1538). Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di wilayah masing-masing.
Pendapat ini didasarkan kepada fatwa beberapa Sahabat, salah satunya adalah Ibnu Abbas (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta’, X: 198). Namun apabila ukuran fidyah disandarkan pada ‘urf (kebiasaan yang lazim) di masing-masing wilayah, maka bisa dianggap orang yang bersangkutan telah membayar fidyah dan ini adalah pendapat yang lebih tepat (Penjelasan lebih lanjut lihat asy-Syarh al-Mumthi’, II: 30-31). Sebab dalam ‘urf yang dipertimbangkan bukan hanya memberikan bahan atau makanan pokok, namun juga beserta lauk dan hal yang terkait dengannya. Terkait dengan ukuran fidyah, 1 sho’ sama dengan 4 mud. Berat satu sho' kira-kira 3 kg.
Lalu bagaimana hukumnya jika fidyah diganti dengan uang?
Mayoritas ulama berpendapat wajib membayar fidyah dengan makanan dan tidak boleh diganti dengan uang atau apapun yang seharga dengannya (lihat al-Majmu’, VI: 144, al-Mudawwanah, I: 392, al-Mughni, III: 87). Dalil yang menjadi sandaran mereka adalah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin" [Q.S. al-Baqarah (2): 184].
Sebab keterangan yang dijelaskan pada ayat di atas adalah bersifat khusus (memberi makan), maka uang sebagai pengganti tidaklah mencukupi. Ketentuan ini berlaku jika tidak ada hal mendesak untuk mengeluarkan uang (guna membayar fidyah), seperti membayar fidyah di tempat yang jauh karena tidak didapati mustahik di wilayah wajib (makan al-wujub), atau dibayarkan kepada orang yang sangat membutuhkan uang ketika itu (lihat fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah, no 6673).
Sedangkan ulama penganut madzhab Hanafi berpendapat boleh membayar fidyah dengan uang sebagaimana zakat. Sebab tujuan utamanya adalah memberi kecukupan kepada orang miskin, dan hal itu bisa terpenuhi dengan harga (qimah) sebagaimana juga tercukupi dengan makanan. Bahkan al-Faqih Abu Ja’far mengatakan, harga (baik dengan uang atau semisalnya –pent) lebih bermanfaat bagi orang miskin sebab dengannya ia bisa membeli apa yang ia butuhkan sesuai dengan keadannya (Lihat al-Mabsuth, III: 107).
Berdasarkan pemaparan di atas, pendapat yang lebih baik untuk diterapkan adalah apa yang dipegang oleh jumhur ulama mengingat jelasnya dalil yang dijadikan landasan. Adapun jika ingin membayar fidyah dengan uang, dapat diserahkan kepada sebuah lembaga pengelola terpercaya untuk kemudian mereka menyalurkannya kepada orang yang membutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar