OKTOBER
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ 3:102 فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيرٌ أَمّا بَعْدُ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah .
Marilah kita senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kualitas ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan selalu menjalankan setiap perintah Allah dan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berusaha semaksimal mungkin menjauhi dan meninggalkan setiap bentuk larangan Allah dan Nabi-Nya, sebagai bentuk konsekwensi mahabbah dan kecintaan kepada-Nya.
Selalu berharap surga dan merasa takut terhadap adzab dan siksa-Nya.
Kita senantiasa interopeksi diri dan muhasabah terhadap amalan yang telah kita lakukan.
Dengan itu kita memiliki perhitungan dan tolak ukur yang jelas, sudahkah di antara kita telah membekali diri dengan bekal yang baik untuk menghadapi perhitungan Allah SWT di saat tidak akan ada lagi pertolongan melainkan pertolongan-Nya.
Dan pada saat itu harta dan anak keturunan seseorang tidak akan berharga.
Rasa malu (al haya’) dalam Islam adalah salah satu cabang iman. Dalam sebuah hadits Rasulullah Muhammad bersabda, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah’ (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan.
Dan malu adalah salah satu cabang iman.” [HR. Bukhari, Muslim]àRasa Malu
Dari sa’id bin Zaid ra bahwa seorang lelaki berkata:
“Wahai Rasulullah berilah aku wasiat. Rasulullah saw bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada seorang lelaki shaleh dari kaummu”. [Al-Zuhd, Imam Ahmad hal: 46 dan Al-Syu’ab karangan Al-Baihaqi : 6/145-146 no: 7738]
Al-haya’, sangat berbeda dengan pengertian malu dalam kamus umum atau kamus psikologi yang mengambil istilah dari Barat, di mana mengartikan malu sebagai sesuatu rasa bersalah.
Al-haya’ adalah malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina atau melanggar prinsip syariat.
Jika seseorang hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati, maka dia telah memiliki sifat Al-haya’.
Dalam Islam, rasa malu termasuk dalam katagori akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji). Karena itulah Nabi mengatakan, malu adalah sebagian dari iman. Rasulullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mencuri bila ia beriman, tidak akan berzina bila ia beriman.”
Bahkan Rasulullah juga menjelaskan qalilul haya’ (sedikit dan kurangnya malu), menyebabkan nilai ibadah menjadi hilang dan hapus.
Dalam kajian akidah-akhlaq malu itu dibagi tiga.
Pertama, malu terhadap diri sendiri.
Merasa malu bila tidak menjalankan perintah dan tidak menjauhi larangan Allah swt.
Kedua, malu terhadap orang lain. Merasa malu bila melakukan kemaksiatan atau kemungkaran.
Ketiga, malu kepada Allah. dimanapun kita berada, kita malu tidak mentaati-Nya.
kita yakin Allah pasti melihat dan mengawasi hamba-Nya.
Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy dalam kitabnya “Al-Haya’ ” (Rasa Malu) mengatakan, di antara sifat terpuji yang diseru oleh syara’ adalah sifat malu:
Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Dan akhlak malu ini termasuk akhlak yang paling baik, mulia, agung., lebih banyak manfaatanya, sifat ini merupakan sifat khsusus bagi kemanusiaan, maka orang yang tidak memiliki rasa malu berarti tidak ada bagi dirinya sifat kemanusiaan kecuali dagingnya, darahnya dan bentuk fisiknya.
Selain itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun, dan kalaulah bukan karena sifat ini, yaitu rasa malu, maka tamu tidak akan dihormati, janji tidak ditepati, amanah tidak ditunaikan dan kebutuhan seseorang tidak akan pernah terpenuhi, serta seseorang tidak akan berusaha mencari sifat-sifat yang baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat yang buruk untuk dijauhi, aurat tidak akan ditutup dan seseorang tidak akan tercegah dari perbuatan mesum, sebab faktor utama yang mendorong seseorang melakukan hal ini baik faktor agama, yaitu dengan mengharapkan balasan dan akibat yang baik (dari sifat yang mulia ini) atau faktor duniawi yaitu perasaan malu orang yang melakukan keburukan terhadap sesama makhluk.
Sungguh telah jelas bahwa kalaulah bukan karena rasa malu terhadap Allah, Al-Khalik dan sesama makhluk maka pelakunya maka kebaikan tidak akan pernah tersentuh dan keburukan tidak akan pernah dijauhi…..dan setererusnya.” [Dikutip dari kitab Al-Haya’ Dr.
Amin Abdullah Asy-Syaqawy, dari Darus sa’adah, Ibnul Qoyyim halaman: 277 di kitab: Nudhratun Na’im: 5/1802]
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang menampakkan kemaksiatannya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah bahwa seseorang berbuat mesum pada waktu malamnya lalu pada waktu paginya padahal Allah telah menutupi kemaksiatannya, namun dia mengatakan: Wahai fulan tadi malam aku telah berbuat ini dan ini, kemaksiatannya telah ditutupi oleh Allah lalu pada waktu pagi dia menyingkap apa yang telah disembunyikan oleh Allah”. [Shahih Bukhari]
Mereka ini mendapatkan bagian dari apa yang disebutkan oleh firman Allah swt:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” [QS.Al-Nur: 19] ]
Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, Ibnul Qayyim membagi malu menjadi 10 kriteria malu.
Jenis Malu
1. Malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT:
“Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?” Adam kemudian menjawab: “Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau.”
2. Malu karena keterbatasan diri seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam.
Pada hari kiamat mereka berkata: “Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya.”
3. Malu karena ma’rifah yang mendalam kepada Allah SWT karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.
4. Malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.
5. Malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.
6. Malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.
7. Malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.
8. Malu karena ‘ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut.
Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.
9. Malu karena kemulian seorang hamba yang wara’ dan muru’ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu kerena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.
10. Malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain.
Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.
أَقُولُ قَوْ لِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ ِليْ وَ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Ke 2
اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. فىَ الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَاوَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّاالْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالرِّبَا وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ. وَسُوْءَالْفِتَنِ مَاظَهَرَمِنْهَا وَمَابَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَاخَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِالْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar