Rabu, 12 Februari 2020

PILAR PILAR DUNIA

*Empat Pilar Agama dan Dunia*

Kamis, 19 Jumadil akhir 1441 H
              13 Pebruari 2020

Oleh: Ustadz Yachya Yusliha.

 عن على كرم الله وجهه أنه قال لا يزال الدين و الدنيا قائمين مادامت أربعة أشياء: مادام الأغنياء لا يبخلون بما خولوا و مادام العلماء يعملون بما علموا و مادام الجهلاء لا يستكبرون عما لم يعلموا و مادام الفقراء لا يبيعون آخرتهم بدنياهم

 Diriwayatkan dari Sayyidina Ali kw agama dan dunia senantiasa akan tetap berdiri tegak selama ada empat perkara. Yaitu selama orang-orang kaya tidak berpikir dengan apa-apa yang telah diberikan, selama para ulama masih mengamalkan apa-apa yang diketahuinya, selama orang-orang bodoh tidak sombong dari perkara yang tidak diketahuinya dan selama orang-orang fakir tidak menjual akhiratnya dengan dunia.

Saat ini, kita dihantui oleh bayangan keruntuhan agama dan dunia. Bayangan bukan lahir dari khayalan, berasal dari deretan, fakta hidup dan kehidupan yang sekarang lebih menyimpang dari prinsip-prinsip syariat Allah. Fakta-Fakta penyimpangan itu benderang bisa kita saksikan di mana-mana. Bahkan di dalam diri kita sendiri. Contoh kecil adalah kita perlu senang menimbun harta, padahal di harta itu adalah hak-hak orang miskin dan fakir yang wajib disetujui.

Menurut Sayyidina Ali kw, agama dan dunia tidak akan runtuh selama orang-orang kaya tidak kikir dengan apa-apa yang telah diberikan, selama para ulama masih mengamalkan apa-apa yang diketahuinya, selama orang tua tidak sombong dari perkara yang tidak diketahuinya dan selama orang-orang fakir tidak menjual akhiratnya dengan dunia. Ternyata, keempat perkara menjadi indikator runtuhnya fondasi agama dan dunia, alih tidak berjalan secara fungsional.

Tidak Kikir

Orang-orang kaya menjadi pilar penyangga tegaknya agama dan dunia. Yaitu orang-orang kaya yang memiliki jiwa kedermawanan dan solidaritas sosial yang tinggi. Jiwa kedermawanan itu dibuktikan dengan sikap lapang dada untuk mau membantu meringankan beban ekonomi orang-orang fakir dan miskin. Sementara solidaritas sosial membahas dengan sikap simpati dan empati manakala menyaksikan orang yang sengaja “dianiaya” atau “terpinggirkan” dalam struktur sosial.

Realitas saat ini menunjukkan fakta yang berbeda. Banyak orang kaya yang suka egois dan sombong. Egoisme dan kesombongan itu bisa kita lihat dari keengganan mereka untuk mau membantu orang-orang tidak mampu dan berhasil di garis kemiskinan. Justru sebaliknya, mereka menentang sekuat tenaga untuk menambah volume kekayaan yang mereka miliki. Dalam pikiran mereka, semakin kaya akan harta semakin tinggi derajatnya di mata masyarakat. Bangunan logika mereka berdiri kokoh di atas pondasi materialisme yang hanya “menuhankan” harta dan kekayaan.

Orang kaya yang kikir senantiasa berpikir bagaimana mengekploitasi semaksimal mungkin kekayaan yang terpendam di bumi dan di langit demi kepentingan sendiri. Ironisnya lagi, mereka lupa tentang harta kekayaan itu sebenarnya milik anak cucu mereka datang. Kalau setiap orang kaya suka ini, jangan pernah berharap orang-orang miskin bisa terangkat kesejahteraannya. Dan jangan pernah berharap lagi anak cucu mereka di masa depan bisa hidup sejahtera.

Sikap kikir orang-orang kaya inilah sebenarnya biang keruntuhan agama dan dunia. Bagaimana mungkin para penganut agama bisa beribadah dengan baik dan khusyu 'sementara perut mereka lapar. Bagaimana dunia bisa dinikmati oleh banyak orang jika masih ada segelintir orang yang mengekploitasi kekayaan yang terpendam di milik demi kepentingan sendiri. Memelihara sikap kikir sama saja dengan meminjam batang kayu dari dalam. Kayu itu akan rapuh dan hancur, cepat atau lambat. Begitu juga agama dan dunia. Akan tinggal nama dan kenangan.

Sungguh, Allah tidak senang terhadap orang kaya yang kikir (bakhil). Sebagai balasannya, Allah akan menyiksa orang-orang kikir (bakhil) itu di hari kiamat kelak. Firman Allah SWT,

"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka itu kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (QS Âli 'Imrôn: 180)

Konsisten dengan Ilmu

Ulama yang konsisten mengamalkan ilmunya termasuk salah satu faktor tegaknya agama dan dunia. Ulama yang konsisten senantiasa meniatkan seluruh amaliahnya, baik ritual keagamaan maupun aktivitas sosialnya, untuk tujuan primer "hanya-mata ibadah untuk Allah." Tidak ada tujuan lain.

Paraulama hanya mengabdikan untuk Allah saja. Sementara ilmu yang menguntungkan, mereka bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Bukan untuk mencelakakan manusia. Mereka berkeyakinan, semakin banyak ilmu yang diberikan kepada orang lain, semakin tinggi ilmu yang diperoleh dan semakin besar pahala yang akan diraihnya.Paraulama memperoleh ilmu akan senantiasa berubah menjadi hikmah man niakala ilmu yang digunakan istiqamah diamalkan.

Ulama sejati tidak akan pernah berhasil apa-apa yang diketahuinya. Menyembunyikan ilmu yang sama dengan siapa pun untuk mengetahui Tuhannya dan dirinya. Sikap seperti ini tidak dapat dibenarkan untuk seorang ulama pewaris Nabi. Selain itu termasuk hamba Allah yang paling menakutkan bagi-Nya. Firman Allah SWT,

“... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanya ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fâtir: 28).

Kalau kita cermati kondisi ulama saat ini, sungguh cukup memperihatinkan. Godaan harta, jabatan, dan wanita menjadi faktor dominan bagaimana ulama sekarang tidak lagi bisa memainkan perannya sebagai pewaris para Nabi. Jangankan konsisten mengamalkan ilmu, sebagian ulama kini melampaui “tersandera” dengan jabatan-jabatan politik yang sangat kotor. Mereka memutuskan untuk kembali ke “kampung halaman” untuk membantunya berdakwah menyeret umat demi kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kalau seperti ini, kehancuran agama dan dunia tinggal menunggu hitungan waktu. Naûdzubillâh.

Tidak Sombong

Agama dan dunia senantiasa akan tegak manakala orang-orang bodoh tidak sombong terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya. Kesatuan inilah sumber utama yang menyebabkan orang-orang bodoh mudah terjerumus ke lubang nestapa. Orang bodoh yang sombong senantiasa akan berbicara “sok pintar” dan “sok mengerti masalah”. Kesuksesan membawa orang-orang bodoh ke jurang egoisme yang tak berkesudahan.

Orang bodoh yang sombong tidak lagi mengakui etika sosial, meminta kerendahan hati. Yang penting diingat adalah bagaimana bisa tampil gagah dan mengesankan. Sikap seperti ini sangat berbahaya, terutama membebaskan orang-orang bodoh yang sombong itu diterima menjawab masalah-masalah agama padahal dia tidak menguasai subtansi masalah itu. Jawaban yang diberikan pasti menyesatkan. Jawaban seperti sedikit banyak akan berakibat pada proses pendangkalan sikap keberagamaan kita. Orang-orang bodoh yang suka tong kosong nyaring bunyinya. Hanya penampilan fisiknya yang prima padahal perdamaian hampa.

Bagaimana jadinya dunia ini jika diselesaikan dengan orang bodoh yang sombong. Sudah dipastikan wajah dunia akan semrawut. Dunia akan menjadi sesak. Ibarat sampah, orang-orang bodoh yang hanya akan menjadi beban bagi dunia. Memang sulit untuk melenyapkannya. Padahal sikap sombong termasuk sikap paling dibenci oleh Allah. Firman Allah SWT,

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, Karena kamu benar-benar sekali-sekali tidak bisa menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (QS Al-Isrâ: 37).

Alangkah bijak kiranya, biarkan orang-orang bodoh mengakui kebodohannya dan tidak sombong. Mengakui kekurangan dan ketidaktahuan terhadap satu pertimbangan adalah salah satu modal utama terciptanya suasana hidup beragama yang harmonis.

Tidak Menjual Akhirat dengan Dunia

Seringkali kita mendengar cerita orang miskin berpindah agama, hanya gara-gara uang. Cerita itu adalah ironi bagi penganut agama. Kenyataan ini menandakan sangat besar kemampuan menjadi panglima. Sangat disayangkan seseorang beragama meminta persetujuan dan akhiratnya dengan urusan dunia yang tidak kekal itu. Jika begitu, sangat tidak mungkin akhirat, dan sangat bernilainya dunia. Satu logis terbalik, yang kini banyak merasuki pikiran orang-orang saat ini.

Memang, kefakiran menjadi salah alasan seseorang menjadi kafir. Namun, hal itu tidak berlaku untuk orang-orang fakir yang fondasi imannya kuat dan keyakinan agamanya kuat. Biar pun langit bergoncang, orang palsu itu akan tetap kokoh dan taat kepada agamanya, juga tidak akan pernah berpindah ke agama lain. Bagi mereka, akhirat lebih abadi dan penuh kedamaian. Firman Allah SWT,

“Sementara kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupn dunia. Sementara kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal. " (QS Al-A'lâ: 16-17)

Lalu, buat apa menukar akhirat dengan dunia yang penuh kepalsuan itu? Dapat jadi, motivasinya adalah untuk mengurangi beban hidup yang kian hari bertambah berat atau sebagai bentuk dari tidak percaya dan penentangan terhadap nilai-nilai agama, seperti tidak mempercayai masalah-masalah ghoib, yang perlu ditambah dengan akhirat.

Di sinilah pentingnya melakukan proses edukasi untuk orang-orang fakir tentang hakikat agama dan dunia. Agar mereka tidak tergiur dengan bahan rayuan dan hal-hal yang terkait duniawi lainnya. Lebih lanjut menjual kepercayaannya dengan cara pindah agama. Proses edukasi yang dimaksudkan juga pada pemahaman yang benar tentang kehidupan akhirat lebih subtansial dan penting tinimbang kehidupan dunia yang fana ini

Demikianlah, empat pilar tegaknya agama dan dunia. Sekarang tinggal bagaimana kita memberi penyadaran. Bagaimana orang kaya tidak berpikir, ulama bisa konsisten dengan ilmunya, orang bodoh tidak sombong, dan bagaimana orang palsu tidak mudah tergoda dengan urusan dunia. Jika keempatnya mampu memutar seperti itu, insya-Allah, tiang agama dan dunia akan terus tegak sampai hari kiamat nanti. Wallâhu a'lam bish-shawâb. 

*semoga bermanfaat dan tidak puas*  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar