Assalamualaikum.Wr.Wb
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الذِّي أَرْسَلَ رَسُولَهُ شَاهِدًاوَمُبَاشِرًاوَنَذِيْرًاوَّدَاعِيًاإِلَى اللَهِ بِإِ ذْنِهِ وَسِرَا جًامُنِيْرًااَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِمْ عَلَى عَبْدِ كَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِ نَامُحَمَّدِوَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ نَالُوْاخَيْرًا.أَمَابَعْدُ
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya untuk menjadi saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan serta dan untuk penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada hamba dan utusan-Mu Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya yang memperoleh kebaikan.
Sesungguhnya ikhlas merupakan kunci dakwah para Rasul Alaihimussalam.
menjadi salah satu syarat penting dalam beramal dan beribadah sehingga seorang muslim harus senantiasa menjaganya.
Dalam Islam, syarat diterimanya amalan ibadah adalah ikhlas dan mengikuti sunah atau tuntunan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.
Tanpa salah satunya, amalan menjadi tidak sempurna. Ikhlas menunjukkan jika amalan dilakukan semata-mata hanya untuk Allah subhanahu wa ta'ala.
Pengertian ikhlas adalah suatu sikap yang terlihat mudah diucapkan, namun banyak orang yang kesulitan menerapkannya dalam kehidupan.
Hal ini berkaitan dengan setiap manusia yang memiliki penyakit hati yang menyulitkan untuk bersikap ikhlas. Namun, bagi orang yang bertakwa ikhlas tidak akan sulit diterapkan.
Berikut ini penjelasan secara detail mengenai pengertian ikhlas,
Sebab, dengan sikap ikhlas yang ada dalam hati semua ibadah seseorang akan diterima. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al–Bayyinah: 5).
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik)” (QS. Az–Zumar :3).
Dalam surat lain Allah Ta’ala berfirman,
اَلَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al–Mulk: 2).
Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Fudhail bin Iyadh berkata,“Maksudnya adalah amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Ali, apa amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar itu?”
Maka ia menjawab,
“Sesungguhnya amalan perbuatan jika dikerjakan dengan ikhlas tapi caranya tidak benar, maka ia tidak diterima.
Begitu juga halnya, jika dikerjakan dengan cara yang benar tapi tidak ikhlas maka tidak akan diterima pula, sampai amalan tersebut dikerjakan dengan ikhlas dan benar.
Ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya untuk Allah semata, sedangkan benar adalah amalan yang sesuai dengan Sunnah (Hadits).”
Kemudian Fudhail membaca firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al–Kahfi: 110).
Firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan.” (QS. An–Nisaa`: 125).
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya adalah orang yang beramal dengan ikhlas hanya untuk Allah Ta`ala, maka ia beramal dengan penuh keimanan dan berharap pahala dari Tuhannya.”
Dengan demikian, Islam adalah mengikhlaskan tujuan dan amalan hanya untuk Allah. Sedangkan Ihsan adalah meniti jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengikuti sunnahnya.
Adapun orang yang beramal tidak karena Allah Ta’ala, maka Allah menceritakan tentang mereka dalam Al-Qur`an,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”(QS. Al-Furqaan: 23).
Maksudnya adalah amalan yang tidak sesuai dengan Sunnah atau dengan amalan tersebut seseorang berharap selain kepada Allah Ta’ala.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallah Anhu sebuah hadits secara marfu,
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Aku tidak membutuhkan sekutu dan kesyirikan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang dicampuri dengan kesyirikan kepada-Ku, maka Aku akan meninggalkannya bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى يُرَائِى فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ صَامَ يُرَائِى فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَصَدَّقَ يُرَائِى فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat untuk dilihat orang maka ia telah berbuat syirik, dan barangsiapa yang berpuasa untuk dilihat orang maka ia telah berbuat syirik, dan barangsiapa yang bersedekah untuk dilihat orang maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad).
Diriwayatkan dari Umar bin Khathab, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu aliaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan dari apa yang diniatkannya.
Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dicapainya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan niat hijrahnya.” (Muttafaq ‘Alaihi).
Wahai para hamba Allah!
Sesungguhnya ikhlas adalah amalan hati yang penting dan termasuk dalam definisi iman.
Amalan hati mempunyai kedudukan yang agung, bahkan perbuatan hati lebih penting dan didahulukan daripada amalan panca indra.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berbicara tentang amalan hati,
“Amalan hati merupakan pondasi iman dan kaidah pokok agama, seperti mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada-Nya, ikhlas dalam menjalankan perintah agama karena Allah, bersyukur kepada Allah, bersabar atas hukum yang ditetapkan-Nya, takut dan berharap kepada-Nya.
Sikap dan perbuatan ini wajib dilakukan oleh setiap hamba berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Mengingat penting dan agungnya perbuatan tersebut, sebagian ulama mengatakan,
“Saya berharap seandainya ada seseorang dari ulama yang memusatkan kesibukannya untuk mengajarkan kepada manusia tentang tujuan mereka beramal, ia duduk mengajarkan tentang niat, bukan yang lain.
Namun, sayangnya kebanyakan dari mereka menyia-nyiakan perkara ini.”
Sehingga, banyak orang yang meremehkan ilmu ini yang mana dengannya Allah memberi manfaat bagi semua negeri dan bagi para hamba-Nya.
Jika orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya tidak dengan niat yang ikhlas karena Allah Ta’ala, sesungguhnya orang itu mendapat ancaman dari Allah pada hari kiamat nanti.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ -يَعْنِي رِيحَهَا
“Barangsiapa menuntut ilmu tidak berharap kepada Allah Ta`ala melainkan berharap untuk mendapatkan dunia saja, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Allah Ta’ala Maha Mengetahui yang ghaib dan yang tersembunyi di dalam hati.
Dia tidak menilai bentuk dan harta yang dimiliki hamba-Nya. Dialah Yang Memilki keutamaan dan Maha Memberi nikmat.
Allah Ta’ala menilai apa yang ada di dalam hati hamba-Nya berupa iman kepada-Nya, membenarkan utusan-Nya, dan mengamalkan apa yang menjadi konsekuensi dari dua perkara tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Dia memandang hati kalian dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
Masih banyak lagi hadits yang menyangkut permasalahan dalam bab ini.
Singkatnya, segala keuntungan dunia – Sedikit atau banyak- akan menarik perhatian hati.
Jika hati terlalu sibuk dengannya, maka kemurnian hati akan pudar dan keikhlasan pun akan lenyap dari seseorang.
Setiap manusia tidak lepas dari mengharap keuntungan dunia, apalagi jika dipompa oleh hawa nafsu.
Sedikit sekali amalan ibadah seorang hamba bersih dari keinginan untuk mendapatkan keuntungan duniawi tersebut.
Ya Allah, jadikanlah amal ibadah kami benar dan ikhlas hanya mengharap wajah-Mu Yang Mulia. Terimalah amalan ibadah kami yang sedikit ini, berilah keberkahan di dalamnya wahai Zat Yang Maha Penyayang.
Semoga shalawat serta salam selalu tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
Demikian sedikit kajian "Beramallah Dengan Sungguh-Sungguh, Ikhlas, dan Jauhilah Syirik“, semoga bermanfaat dan jika ada kesalahan atau kata kata yang tidak sesuai datangnya dari saya dan kebenaran hanya milik Allah SWT. aamiin
Bapak Ustaz yang saya hormati, apakah musibah yang menimpa seseorang dapat berarti azab bagi yang bersangkutan atau dapat merupakan penghapus dosa? Demikian, atas jawaban Ustaz saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Hayatun Nufus Cibening, Bogor
Musibah adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh jiwa. Padamnya lampu saat dibutuhkan penerangan adalah musibah, demikian Imam ar-Razy, dalam tafsirnya mengutip satu riwayat yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW.
Selanjutnya dengan merujuk kepada ayat-ayat Alquran ditemukan aneka musibah yang dapat menimpa manusia pada diri, keluarga, harta jiwa, dan agamanya.
Yang paling berat dari sekian musibah adalah yang menimpa keberagamaan seseorang. "Semua musibah ringan asal tidak menimpa agama." Demikian ungkapan populer dalam literatur agama.
Musibah-musibah yang dialamai boleh jadi merupakan:
1) Ujian bagi keimanan dan kesabaran seseorang. Ini merupakan keniscayaan dalam hidup (QS al-Ankabut: 2-3), boleh jadi juga
2) Sebagai cara yang ditempuh Allah SWT guna pengampunan dosa (QS Ali Imran 140-141). Nabi SAW bersabda: Tidak ditimpa seseorang duri dalam perjalanannya kecuali dihapus Allah dosanya
3) Sebagai pembalasan atas kesalahan (QS al-Ankabut 40),
4) Sebagai obat atas penyakit yang diderita (QS al-Mukminun 75-76)
Selanjutnya Alquran juga mengisyaratkan bahwa musibah terjadi akibat memperturutkan nafsu (QS asy-Syura 30 dan Thaha 81), atau kebodohan manusia. Karena itu Allah memerintahkan manusia untuk selalu belajar, dan Nabi SAW mengingatkan lewat sabdanya: ''Jadilah seorang cendekiawan, atau penuntut ilmu, atau pendengar ilmu yang baik, atau pencipta ilmu, dan jangan menjadi yang kelima (orang bodoh), karena jika demikian engkau akan celaka.''
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa ada musibah yang merupakan kebaikan bagi manusia. Pemilik perahu yang dibocorkan Nabi Musa adalah orang-orang miskin, pembocoran tersebut padahal tidak menyenangkan para pemilik itu musibah bagi mereka.
Namun, pada hakikatnya tidak demikian: Adapun perahu itu (yang saya bocorkan) maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan memberi aib (membocorkan sehingga nampak tidak sempurna) karena di hadapan mereka ada raja (penguasa) yang mengambil perahu-perahu (yang baik) secara paksa (QS al-Kahfi: 79). Mudah-mudahan musibah yang dihadapi bangsa kita adalah jenis musibah ini. Demikian Wallahu a'lam
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar