Ketika kita melihat suatu kemunkaran, maka kewajiban kita adalah mengubah kemunkaran tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Namun yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim no. 186]
Kita telah mengetahui, bahwa kemunkaran yang paling munkar adalah kesyirikan, karena syirik merupakan pelecehan terhadap hak Allah Ta’ala. Oleh karena itulah, kita hendaknya berusaha untuk memberantas kesyirikan yang ada di sekitar kita.
Namun, apabila tindakan memberantas kesyirikan itu berhak dilakukan oleh semua orang, semua organisasi masyarakat (ormas), semua organisasi kepemudaan, dan semua organisasi keagamaan, maka yang justru akan terjadi adalah kekacauan, huru-hara, dan tindakan-tindakan anarkis. Oleh karena itulah, kewenangan untuk memberikan tindakan memberantas kesyirikan tersebut “dengan tangan” berada pada pemerintah atau penguasa, bukan pada rakyat biasa.
Hal ini bisa kita lihat dari tindakan-tindakan pemerintah kaum muslimin pada masa yang telah lalu ketika memberantas kesyirikan, dalam upaya membela dan melindungi tauhid dan membendung setiap upaya menuju kesyirikan. Berikut ini penulis sampaikan contoh-contoh kisah yang menunjukkan tanggung jawab pemerintah kaum muslimin dalam menghancurkan setiap sarana menuju kesyirikan.
1. Kisah Rasulullah Memberantas Berhala Dzul Khalashah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin negara saat itu, hati beliau tidak pernah merasa nyaman ketika beliau masih melihat eksisnya kesyirikan di muka bumi. Beliau terus berusaha untuk melenyapkan kesyirikan, sebagaimana kisah berhala Dzul Khalashah. Pada saat umat Islam telah jaya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar sebuah berita bahwa masih ada berhala bernama Dzul Khalashah yang disembah di negeri Yaman.
Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
قَالَ لِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – «أَلاَ تُرِيحُنِى مِنْ ذِى الْخَلَصَةِ». وَكَانَ بَيْتًا فِى خَثْعَمَ يُسَمَّى الْكَعْبَةَ الْيَمَانِيَةَ، فَانْطَلَقْتُ فِى خَمْسِينَ وَمِائَةِ فَارِسٍ مِنْ أَحْمَسَ، وَكَانُوا أَصْحَابَ خَيْلٍ، وَكُنْتُ لاَ أَثْبُتُ عَلَى الْخَيْلِ، فَضَرَبَ فِى صَدْرِى حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ أَصَابِعِهِ فِى صَدْرِى، وَقَالَ «للَّهُمَّ ثَبِّتْهُ، وَاجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا». فَانْطَلَقَ إِلَيْهَا فَكَسَرَهَا وَحَرَّقَهَا، ثُمَّ بَعَثَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ رَسُولُ جَرِيرٍ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقّ ، مَا جِئْتُكَ حَتَّى تَرَكْتُهَا كَأَنَّهَا جَمَلٌ أَجْرَبُ. قَالَ فَبَارَكَ فِى خَيْلِ أَحْمَسَ وَرِجَالِهَا خَمْسَ مَرَّاتٍ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,’Tidakkah Engkau mau melegakan hatiku dari berhala Dzul Khalasah?’ Dzul Khalashah adalah sebuah rumah (ibadah) di daerah Khasy’am, dan dijuluki dengan ‘Ka’bah Yaman’. Maka aku berangkat ke sana bersama 150 pasukan berkuda dari kaum Ahmas. Mereka adalah orang-orang yang pandai menunggang kuda. Sedangkan aku kurang terampil dalam menunggang kuda. Maka Rasulullah menepuk dadaku sehingga aku melihat bekas telapak tangan beliau di dadaku. Rasulullah berkata,’Ya Allah, tetapkan dia (di atas kudanya) dan jadikan dia seorang yang dapat memberi petunjuk dan diberi petunjuk.’ Aku pun berangkat ke sana, menghancurkan, dan membakarnya. Kemudian aku mengutus seorang utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utusan tersebut berkata kepada Rasulullah,’Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidaklah aku datang kemari hingga aku meninggalkannya seperti seekor unta yang terserang penyakit kulit (maksudnya, Dzul Khalashah telah dibakar).’ Jarir berkata (maka Nabi mendoakan), semoga Allah memberkahi kuda-kuda Ahmas dan pasukannya, sebanyak lima kali.” [HR. Bukhari no. 4355, 4356, 4357 dan Muslim no. 6520, 6521]
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menyimpulkan kandungan hadits ini, “Dalam hadits tersebut terkandung pelajaran berupa disyariatkannya menghilangkan segala sesuatu yang dapat menjadi sebab rusaknya agama masyarakat, baik berupa bangunan atau yang lainnya, baik berupa manusia, hewan, atau pun benda mati.” [Fathul Baari, 12/164]
2. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab bersama Sungai Nil
Pada suatu saat, sungai Nil di Mesir pernah kering tidak mengalirkan air. Maka penduduk Mesir mendatangi ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu –gubernur Mesir saat itu- seraya mengatakan,”Wahai ‘Amr, sungai Nil kita ini memiliki suatu musim untuk tidak mengalir kecuali dengan (mempersembahkan) tumbal.” ‘Amr bertanya,”Tumbal apakah itu?” Mereka menjawab,”Pada tanggal 12 di bulan seperti ini, biasanya kami mencari gadis perawan. Lalu kita merayu orangtuanya dan memberinya perhiasan dan pakaian yang mewah. Kemudian kita lemparkan anak gadisnya ke sungai Nil ini.” Mendengar hal itu, ‘Amr mengatakan kepada mereka,”Ini tidak boleh dalam agama Islam. Islam telah menghapus keyakinan tersebut.”
Beberapa bulan menunggu, tetapi sungai Nil tetap kering sehingga hampir saja penduduk nekat memberikan tumbal. ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu kemudian menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk mengadukan masalah tersebut. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Sikapmu sudah benar. Dan bersama ini saya kirimkan secarik kertas dalam suratku ini untuk kamu lemparkan ke sungai Nil.”
Ketika surat itu sampai, maka ‘Amr radhiyallahu ‘anhu pun mengambilnya. Ternyata isi surat itu sebagai berikut,”Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada sungai Nil, sungai penduduk Mesir. Amma ba’du. Bila kamu mengalir karena kehendakmu sendiri, maka kamu tidak perlu mengalir karena kami tidak butuh kepadamu. Tetapi kalau kamu mengalir karena perintah Allah –yaitu Dzat yang mengalirkanmu-, maka kami berdoa agar Allah mengalirkanmu.”
Setelah surat Umar tadi dilemparkan ke sungai Nil, maka dalam semalam saja Allah Ta’ala telah mengalirkan sungai Nil sehingga setinggi enam belas hasta. [Al-Bidayah wan Nihayah, 7/100]
Lihatlah, bagaimana dua orang pemimpin saat itu, yaitu “gubernur” ‘Amr bin ‘Ash dan “presiden” Umar bin Khaththab, bahu-membahu dalam mencegah terjadinya kesyirikan di wilayah kekuasaannya.
3. Perintah Khalifah Umar bin Khaththab untuk Membunuh Tukang Sihir
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau memerintahkan kepada para gubernur untuk menghukum mati para tukang sihir. Perintah ini untuk menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatan dan kejelekan mereka, serta untuk menyelamatkan aqidah kaum muslimin.
Diriwayatkan dari Bajalah bin ‘Abdah, dia berkata bahwa Umar bin Al-Khaththab telah menetapkan perintah,
اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ
“Bunuhlah semua tukang sihir.” Kata Bajalah selanjutnya,
فَقَتَلْنَا فِى يَوْمٍ ثَلاَثَةَ سَوَاحِرَ
“Maka dalam sehari kami pun menghukum mati tiga tukang sihir.” [HR. Abu Dawud no. 3043 (secara ringkas). Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud].
Demikianlah keteguhan hati khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala kepada mereka. Dan bandingkanlah dengan kondisi kita saat ini, ketika para tukang sihir justru diagung-agungkan, dijadikan sebagai idola, dan mendapatkan tempat khusus di acara-acara televisi.
4. Perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk Meratakan Kubur
Abul Hayyaj Al-Asadi menceritakan, bahwa suatu hari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya,
أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Maukah Engkau aku utus dengan misi yang pernah kujalani karena perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yaitu, janganlah Engkau menemukan patung-patung (makhluk bernyawa), melainkan Engkau hancurkan. Dan janganlah Engkau menemukan makam yang ditinggikan (melebihi satu jengkal, pent.), kecuali Engkau ratakan.” [HR. Muslim no. 2287]
5. Kisah Pemerintah Mekah pada Masa Imam Syafi’i
Lalu, lihatlah bagaimana pemerintah pada masa Imam Syafi’i rahimahullah yang tidak pernah membiarkan kesyirikan merajalela. Imam Syafi’i rahimahullah menceritakan, “Sungguh aku pernah melihat pemerintah yang menghancurkan bangunan (yang dibangun di atas kubur). Aku tidak melihat ahli fiqih yang mencela tindakan tersebut. Jika bangunan kubur tersebut berada di tanah milik orang yang dikubur selama dia masih hidup atau milik ahli warisnya, maka (kubur itu) tidak dihancurkan. Yang dihancurkan hanyalah bangunan kubur yang tidak dimiliki oleh seorang pun. Agar tidak menyusahkan masyarakat yang ingin mencari lahan pemakaman. (Apabila tidak dihancurkan), maka mereka tidak bisa mengubur di tanah tersebut sehingga (akhirnya) bisa menyusahkan masyarakat.” [Al-Umm, 1/316]
Demikian pula, An-Nawawi rahimahullah menyebutkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah,
وَرَأَيْت الْأَئِمَّة بِمَكَّة يَأْمُرُونَ بِهَدْمِ مَا يُبْنَى، وَيُؤَيِّدُ الْهَدْمَ قَوْلُهُ: ( وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْته )
“Aku melihat pemerintah di Kota Mekah yang memerintahkan untuk menghancurkan (bangunan) di atas kubur. Penghancuran itu diperkuat oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Dan janganlah Engkau menemukan makam yang ditinggikan (melebihi satu jengkal, pen.), kecuali Engkau ratakan.’” [Syarh Shahih Muslim, 3/389]
Kisah-kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa penghancuran simbol-simbol kesyirikan bukanlah wewenang semua orang atau rakyat biasa, akan tetapi merupakan wewenang pemerintah yang berkuasa saat itu. Kisah-kisah di atas juga menunjukkan bagaimana tanggung jawab pemerintah kaum muslimin saat itu untuk memberantas kesyirikan dan setiap sarana yang akan mengarah kepada perbuatan syirik. Oleh karena itu, kita sangat berharap kepada pemerintah agar dapat mengambil tindakan-tindakan terhadap setiap bentuk kesyirikan dan setiap sarana menuju kesyirikan, dengan tidak memfasilitasi, membantu, memperlancar, atau bahkan mempromosikan kesyirikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar