Adu kesaktian antara Prabu Pucuk Umun dan Maulana Hasanuddin dimenangkan oleh Hasanuddin dalam perebutan kekuasaan dan penyebaran agama Islam di Banten. Namun, Pucuk Umun yang waktu itu penguasa Pakuan Pajajaran di Banten Girang menolak untuk masuk Islam.
Diceritakan bahwa pertarungan adu sakti itu menggunakan media ayam jago. Pucuk Umun menciptakan ayam jago dari besi baja berpamor air raksa diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan ayam Hasanuddin merupakan penjelmaan jin berasal dari sorbannya yang dihentakkan dan diberi nama Jalak Putih.
Cerita pertarungan Pucuk Umun melawan Maulana Hasanuddin ini sering disinggung di buku berkaitan sejarah awal Banten. Hasanudin waktu itu bersama ayahnya, Sunan Gunung Jati memang menyebarkan agama Islam di kerajaan Sunda di Banten yang masih bercorak Hindu.
Banten Lama dan Masjid Agung Banten Foto: Bahtiar Rifa'i |
Banten pada abad awal ke-16 sendiri digambarkan sebagai Kerajaan Sunda dan berada di jalur perdagangan. Seorang penjelajah Portugis Tome Pires pada 1513 menggambarkan bahwa meski masih bercorak kerajaan, Islam ternyata sudah masuk ke daerah ini karena berada di jalur strategis perdagangan internasional.
"Pada tahun 1513 di Cimanuk, sudah dijumpai orang-orang Islam, jadi pada akhir abad ke-15, Islam sudah mulai diperkenalkan di pelabuhan milik kerajaan Hindu Sunda. Ketika Sunan Ampel Denta pertama kali datang ke Banten, ia mendapati orang islam di Banten walaupun penguasa di situ masih beragama Hindu," demikian tertulis dalam buku 'Sejarah Banten, Membangun Tradisi dan Beradaban' yang ditulis oleh Nina H. Lubis dkk sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (16/4/2021).
Estafet penyebaran Islam setelah Sunan Ampel dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Bahkan ia menikah dengan anak pemimpin kerajaan bernama Nyai Kawunganten dan lahirlah Maulana Hasanuddin.
Proses islamisasi penduduk oleh Sunan Gunung Jati dan anaknya Maulana Hasanuddin bahkan diceritakan sampai ke Gunung Pulosari. Setelah Sunan Gunung Jati ke Cirebon, islamisasi tetap dilanjutkan oleh anaknya itu sampai ke Gunung Karang, Gunung Lor bahkan sampai ke Ujung Kulon.
"Dalam menyebarkan Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian," tertulis dalam buku yang sama.
Dan baru pada 1525 begitu Hasanuddin dikisahkan mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang, pusat pemerintahan ia pindahkan ke dekat pelabuhan. Ini terjadi pada 1 Muharam tahun 933 Hijriyah atau pada 8 Oktober 1526. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama Kecamatan Kasemen dan di sana ada reruntuhan Keraton Surosowan.
"Pemilihan Surosowan sebagai ibu kota didasarkan atas pertimbangan lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, pada 1552, Banten yang tadinya hanya kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan," tertulis dalam buku.
Makam Sultan Maulana Hasanuddin Foto: Bahtiar Rifa'i |
Masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin dikenal sebagai kekuatan pelayaran maritim dan perdagangan salah satunya adalah lada yang terkenal dan jadi komoditas internasional waktu itu. Perluasan kekuasannya mulai dari Jayakarta, Karawang, Lampung hingga Bengkulu.
Maulana Hasanuddin meninggal pada 1570 dan dimakamkan di Masjid Agung Banten. Sampai saat ini, makamnya menjadi pusat ziarah warga khususnya ke kawasan Banten Lama. Ia dikenal juga sebagai Pangeran Surowosan dan julukan ini disematkan karena ia adalah pendiri Keraton Surosowan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar