Kamis, 05 Januari 2023

BAB THOHAROH


Tentang Air


HADITS KE-1

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ  وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

- At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””.

- Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam.

Kosa kata:

- Kata البَحْر (al-bahr /laut) adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin.

- Kata الطَهُوْرُ (at-thohur) adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

- Kata الحِلُّ (Al-hillu) yaitu halal, kebalikan haram.

- Kata مَيْتَتُهُ (maitatuhu), yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat. Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut.

Faedah Hadits:

1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.

2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.

3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.

4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.

6. Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.

7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).

8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.

9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

b. Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa

c. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.

Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat.

Sumber:  Taudihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassam.

HADITS KE-2

 

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya."

Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih.

- Hadits ini juga dinamakan "hadits bi'ru bidho'ah". Imam Ahmad berkata, "hadits bi'ru bidho'ah ini shahih”.

- Imam At Tirmidzi berkata "hasan".

- Abu Usamah menganggap hadits ini baik. Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Sa'id dan selainnya dengan jalur lain.

- Disebutkan di dalam "at Talkhish" bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Mu'in, dan Ibnu Hazm.

- Al-Albani berkata, "periwayat pada sanadnya adalah periwayat Bukhori dan Muslim kecuali Abdullah bin Rofi'. Al Bukhori berkata, "keadaannya majhul", akan tetapi hadits ini telah dishahihkan oleh imam-imam sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

- Hadits ini adalah hadits yang masyhur (dikenal) dan diterima oleh para imam.

- Syaikh Shodiq Hasan di kitab Ar-Raudah, "Telah tegak hujjah dengan pen-shahih-an oleh sebagian imam . Telah dishahihkan juga (selain yang telah disebutkan di atas) oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, dll. Walaupun Ibnul Qothon mencacati hadits ini dengan majhulnya riwayat dari Abu Sa'id, akan tetapi pencacatan oleh satu orang Ibnul Qothon tidak dapat melawan penshahihan oleh imam-imam besar (yang telah disebutkan di atas).

Kosa Kata: 

- Kata طهور (Thohur), artinya suci substansinya dan dapat mensucikan selainnya.

- Kata لا ينجسه شيء (Laa yunajjisuhu syai-un) = tidak ada yang sesuatupun yang dapat menajiskannya. Perkataan ini dimuqoyyad-kan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu bau, rasa, dan warna.

HADITS KE-3

 

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ  أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya."

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, "Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya."

Derajat Hadits: 

- Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan "Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya" telah ada dasarnya di hadits bi'ru bidho'ah (hadits 2).

- Adapun lafadz tambahan “kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”, Imam an Nawawi berkata, "para ahli hadits bersepakat atas ke-dho'if-an lafadz ini, karena di dalam isnadnya ada Risydain bin Sa'ad yang disepakati ke-dho'if-an-nya. Akan tetapi, Ibnu Hibban di dalam shahihnya menukil adanya ijma' ulama untuk mengamalkan maknanya. Shodiq berkata di kitab Ar-Raudhoh, "Para ulama bersepakat terhadap dho'ifnya tambahan ini, akan tetapi ijma' ulama mengakui kandungan maknanya".

Faedah Hadits (2 dan 3):

1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya.

2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma' umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho'if, tidak tegak hujjah dengannya, akan tetapi:

- Imam An-Nawawi berkata, "para ulama telah ijma' terhadap hukum dari lafadz tambahan ini".

- Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama ijma' bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis).

- Ibnul Mulaqqin berkata, "terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi'i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya. Syaikhul Islam berkata, "Apa yang telah menjadi ijma' oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma' kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash.

Sumber : kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam

HADITS KE-4

 

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ  أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ  وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis".

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih, dinamakan juga dengan hadits qullatain (dua kullah).

Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz (nyeleneh) pada sanad dan matannya.

Syadz pada matannya dari segi bahwa hadist ini tidak, masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan, seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.

Adapun segi idhtirob (simpang siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui, dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.

Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni.

Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.

Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima.

Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”

Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.

Kosa kata:

- Kata قلتين (qullataini) = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.

- Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.

- Kata الخبث (khobats) adalah najis.

Faedah hadits: 

1. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.

2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.

3. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.

Perbedaan pendapat ulama:

> Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air.

Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.

Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah.

> Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.

Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.

Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.

Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.

Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.

Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau.

Sumber: Taudhihul Ahkam min Bulughul Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam

HADITS KE-5

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

 لِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي  ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

 وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ  وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.

Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya."

Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya."

Kosa Kata: 

- Kata الدائم (ad daa-im) artinya tenang dan diam (tidak mengalir)

- Kata الذي لا يجري (alladzi laa yajri) = yang tidak mengalir, merupakan penafsiran dari air yang tenang.

- Kata جنب (junub) artinya mengalami janabah, yaitu hadats yang diakibatkan oleh hubungan intim suami-istri atau keluarnya air mani.

- Kata منه (minhu) = darinya, memberikan makna larangan mengambil air (bekas dikencingi) dari dalam suatu tempat dan mandi di luar tempat tersebut (tidak mencebur ke dalamnya).

- Kata فيه (fiihi) = di dalamnya, memberikan makna larangan mencebur (masuk) ke dalam tempat air (bekas dikencingi) tersebut.

- Kata جنابة (janabah) adalah sifat bagi orang yang keluar air maninya atau dengan sebab hubungan intim, sampai ia bersuci.

Faedah Hadits: 

1. Larangan mandi janabah di dalam air yang tenang (tidak mengalir).

2. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang tenang.

3. Larangan ini (mandi janabah di dalam air yang tenang) menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang (yaitu rusaknya air bekas mandi janabah).

4. Larangan kencing di dalam air yang tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya.

5. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi.

6. Larangan ini (mandi janabah di dalam air yang dikencingi) juga menunjukkan rusaknya yang dilarang (yaitu rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah).

7. Secara zhohir, hadits ini tidak membedakan antara air yang sedikit ataupun banyak.

8. Rusak yang diakibatkan oleh kedua larangan tersebut adalah rusaknya air, karena menjadi kotor dan menjijikkan bagi orang-orang yang akan menggunakannya. Dan akan dijelaskan –insyaAllah- perbedaan pendapat mengenai air musta’mal (air bekas digunakan), apakah menggunakannya untuk thoharoh (bersuci) akan menghasilkan kesucian atau tidak.

9. Larangan dari kencing atau mandi di dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air yang sangat banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan, dan peng-khusus-an (air yang sangat banyak) ini dikhususkan oleh ijma’.

10. Imam Ash Shon’ani berkata di Subulus Salam, “yang sesuai dengan kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di dalam hadits adalah menggabungkan (kencing kemudian mandi sekaligus), karena kata ثم (kemudian) tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan oleh wawu ‘athof (= dan), kata ثم memberikan makna gabungan dan berurutan (kencing kemudian mandi sekaligus di dalam air yang sama).

11. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “larangan menggabungkan (kencing kemudian mandi) diambil dari satu hadits, dan larangan dari masing-masing (mandi saja atau kencing saja) diambil dari hadits lain”

Riwayat-riwayat yang ada di bab ini memberi faedah antara lain:

- Riwayat Muslim: larangan dari mandi dengan mencebur (masuk) ke dalam air yang tenang, dan larangan mengambil air bekas dikencingi untuk mandi.

- Riwayat Bukhori: larangan dari kencing kemudian mandi sekaligus (di dalam air yang diam tersebut).

- Riwayat Abu Dawud: larangan dari masing-masing (kencing saja atau mandi saja).

Dari seluruh riwayat tersebut disimpulkan bahwa seluruhnya terlarang, hal ini karena kencing atau mandi di dalam air yang tenang menyebabkan air kotor dan menjijikkan bagi orang lain meskipun air tidak sampai najis.

12. Keharaman ini juga berlaku untuk buang air besar dan istinja’ (mencebok) di dalam air yang tenang yang tidak mengalir.

13. Haram merugikan orang lain dan memberikan mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi, yang lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnnya.

Perbedaan Pendapat Ulama:

Para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh.

- Madzhab Malikiyah berpendapat makruh, karena air tetap dalam keadaan suci.

- Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah berpendapat haram.

- Sebagian ulama berpendapat haram pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.

Secara zhohir, larangan tersebut hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi orang lain.

Peringatan: dikecualikan air yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah

HADITS KE-6

 

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya benar.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih.

Asy Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan.

Adapun yang men-tsiqoh-annya.

At- Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”.

Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya, padahal perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya).

Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini tsiqoh (terpercaya) lagi faqih.

Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.

Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata, “perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya)”.

Faedah Hadits:

1. Larangan bagi laki-laki mandi dengan air bekas bersuci wanita.

2. Larangan bagi wanita mandi dengan air bekas bersuci laki-laki.

Yang disyariatkan adalah mandi bersama dan mengambil air bersama.

Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain.

Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi) bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan melihat anggota-anggota wudhu’.

HADITS KE-7

 

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Menurut para pengarang kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihar tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.

Ibnu Abdil Haadi berkata di Al Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.

Ibnu Hajar berkata di At Talkhis, “beberapa ulama mencacati hadits ini dengan Simak bin Harb riwayat dari Ikrimah, karena dia menerima talqin, akan tetapi diriwayatkan dari Syu’bah. Dan Syu’bah tidaklah mengambil dari Syaikhnya melainkan shahih haditsnya.

Faedah Hadits:

1. Bolehnya seorang laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita tersebut junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi dengan air bekas bersucinya laki-laki.

2. Mandinya orang yang junub atau wudhu’nya orang yang berwudhu dari wadah tidak memberikan dampak terhadap kesucian air, maka air tetap dalam kesuciannya.

3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’ dengan air bekas bersucinya wanita walaupun mereka tidak wudhu' bersama. Kecuali ada salah satu riwayat dari Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau berkata di Al Inshof, dan dari Imam Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki tersebut" dan inilah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Uqoil dan Abu Khottob dan Al Majid.

Dikatakan di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”.

Adapun wudhu’nya wanita dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat.

Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah

Tambahan:

Jumhur ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa laki-laki (suami) berwudhu' atau mandi dengan air bekas wudhu'nya wanita (istri), berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits 7 di atas), dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama mendho'ifkan hadits 6, (seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll.) (http://hawaa.elaana.com/show-12290.html)

Namun, ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam (seperti keterangan di atas). Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama berusaha menjama' (mengkombinasikan) antar hadiits-hadits tersebut, cara mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.

Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, "larangan tersebut dimaknai untuk kebersihan sehingga terjama'lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita, dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki." Demikian juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah.

Bisa dibaca lebih lanjut di : http://islamqa.com/ar/ref/129160 dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?p=1083298

Kesimpulan:

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki (suami) tidak mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita (istri), tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu a'lam.

HADITS KE-8

 

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

 

Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Derajat Hadits

HADITS KE-9

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ  أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)".

Kosakata Hadits

  • kata طهور (thuhur) merupakan isim mashdar.

  • kata ولغ (walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.

  • kata التراب (at-turob) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah.

  • kata فليرقه (falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.

  • kata أخراهن, أو أولاهن (ukhoohunna aw uulahunna) = yang pertamannya atau yang terakhirnya. Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir), riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhori Muslim (syaikhoin), dan juga karena debu jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih (dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).

Faedah Hadits

  1. Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis.

  2. Najisnya adalah najis yang paling berat.

  3. Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian.

  4. Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.

  5. Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya.

  6. Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena:

    • Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain.

    • Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.

    • Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah).


  7. Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.

  8. Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu.

  9. Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan dapat menarik kemudahan”.
    Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan mencuci najisnya anjing. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini, mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing yang tujuh kali dan berurutan. Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash. Selain itu illah (alasan) hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas.

Perbedaan pendapat ulama terhadap wajibnya menggunakan debu

  • Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib. Hal ini karena kegoncangan (idhtirob)nya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”.
    Oleh karena idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak adanya hukum wajib.

  • Imam Syafi’i dan Ahmad serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh zhohiriyah, Ishaq, Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan debu. Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci. Hal ini berdasarkan nash yang shahih. Adapun celaan idhtirob pada periwayatannya ini tertolak. Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karena idhtirob hanyalah jika idhtirobnya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi hadits unggul atas sebagian yang lain –sebagaimana dalam kasus ini- maka yang dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam ilmu ushul fiqh. Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu penggunaan debu pada cucian yang pertama.

Perbedaan pendapat ulama, apakah najisnya anjing ini khusus pada mulut dan air liurnya saja, atau umum seluruh badan dan anggota tubuhnya?

  • Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum. Mereka menyamakan badan anjing dengan mulutnya.

  • Imam Malik dan Dawud berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi (ibadah) bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan hukum).

Pendapat pertama lebih rajih (unggul) karena:

  • Ditemukan di dalam badan anjing beberapa bagian yang lebih najis dan lebih kotor dari mulut dan lidahnya.

  • Asal di dalam hukum adalah ta’lil, maka dibawa kepada yang umum.

  • Sekarang tampak bahwa najisnya anjing adalah najis mikroba, maka sudah tidak menjadi hukum yang bisa dicari illahnya, hanyalah hukumnya berdasarkan hikmah yang jelas.
    Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah menumpahkan isi (air) di dalam wadah.

    Prof. Thobaroh berkata di dalam bukunya “ruhuddin al islamiy”, “di antara hukum islam adalah menjaga badan dari najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiah bagi Islam yang telah mendahului ilmu kedokteran modern, dimana telah ditetapkan bahwa anjing menularkan kebanyakan dari penyakit kepada manusia. Sebab anjing mengandung cacing pita yang dapat menyebabkan penyakit kronis berbahaya bagi manusia. Telah ditetapkan bahwa seluruh jenis anjing tidak terlepas dari cacing pita ini, maka harus dijauhi dari seluruh hal yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.”

Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah.

HADITS KE-10

 

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة

Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

Derajat hadits:

Hadits Shahih

Ash Shon’ani berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Al Bukhori, Al ‘Uqoili, dan Ad Daruquthni”. Al Majd berkata di dalam Al Muntaqo, “Hadits ini diriwayatkan oleh imam yang lima”. At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih”.

Ad Daruquthni berkata, “periwayat-periwayat (rijal) nya terpercaya dan dikenal. Imam Al Hakim berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Malik, dan beliau berhujjah dengannya di dalam al Muwaththo’”. Bersamaan dengan itu, hadits inipun memiliki syahid (penguat) dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Malik. Diriwayatkan juga dari Malik oleh Abu Dawud, An Nasaa-i, At Tirmidzi, Ad Daarimiy, Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqiy, dan Ahmad, seluruh mereka meriwayatkan hadits ini dari Malik dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah dari Humaidah binti Abi Ubaidah dari bibinya Kabsyah binti Ka’ab bin Malik. Dan Kabsyah ini dibawah asuhan Abu Qotadah Al Anshoriy. Hadits inipun dishahihkan oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’, dan beliau menukil dari Al Baihaqiy bahwa Al Baihaqiy tersebut berkata, “sanad-sanadnya shahih”.

Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan lain. Akan tetapi Ibnu Mandah mencacati hadits ini dengan mengatakan bahwa Humaidah dan Kabsyah adalah perawi yang majhul. Namun dapat dijawab bahwa Anaknya yaitu Yahya meriwayatkan hadits darinya, dan Yahya ini adalah terpercaya bagi Ibnu Ma’in. Adapun Kabsyah, ada pendapat bahwa dia adalah seorang sahabat (wanita), dan ini khusus pada sanad ini, jika tidak, maka telah datang dari jalur lain dari Abu Qotadah.

Dengan demikian terbantahlah pencatatan hadits oleh Ibnu Mandah, sehingga hadits ini menjadi shahih dengan penshahihan oleh imam-imam di atas, wallahu a’lam.

Kosakata:

Kata الطوافين (Ath Thowwafiin), merupakan jama’ dari الطواف (thowwaaf) yaitu yang banyak mondar-mandir dan berjalan sebagai pelayan.
Ibnu Atsir berkata, “yaitu yang melayanimu dengan lemah lembut dan penuh perhatian, beliau menyerupakannya dengan pelayan yang mondar-mandir menemui majikannya dan berputar-putar di sekitarnya”. Jama’nya berupa jama’ mudzakkar salim padahal kucing tidak termasuk yang berakal, hal ini karena kucing menempati kedudukan orang (yang berakal), dari segi disifati dengan sifat “pelayan”.

Faidah Hadits:

  1. Kucing bukan hewan yang najis, sehingga tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya.
  2. Alasan (‘illah) tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka melepaskan diri darinya.
  3. Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah.
  4. Di-qiyas-kan (diserupakan hukumnya) dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram (dimakan), akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol dan himar (keledai), atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari keberadaannya seperti tikus.
  5. Ahli fiqh dari kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram (dimakan) dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan, kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih (pendapat yang lebih kuat) adalah memuqoyyadkan-nya dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil, karena inti dari ‘illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka berkeliaran di sisi kalian”.
  6. Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing. Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil (alasan) yang terpahami dari sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran (mondar-mandir)” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya.
  7. Yang terpahami dari hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja (mencebok) atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya.

HADITS KE-11

 

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." Muttafaq Alaihi.

Faedah Hadits

  1. Air kencing (manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya.

  2. Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya. Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah (penyucian) najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan.

  3. Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an”.

  4. Toleransinya akhlak Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana yang terdapat di Shahih Al Bukhori.

  5. Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al Qolam : 4).

  6. Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara mendadak) dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya saluran kencing

  7. Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kebodohan.

  8. Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh tanpa kekerasan

  9. Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’I berupa dosa atau hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya.

HADITS KE-12

 

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ

Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.

Derajat Hadits:

Hadits ini shohih secara mauquf. Adapun perkataan penulis (Ibnu Hajar), “di dalamnya ada kedho’ifan” karena berasal dari riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar. Imam Ahmad mengatakan, “Ia adalah seorang munkarul hadits”. Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata, “hadits ini mauquf, dishohihkan secara marfu’ setiap yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnul Qoyyim”. Ash Shon’ani berkata, “Jika telah ditetapkah hadits ini mauquf, maka hadits ini berhukum marfu’, karena perkataan shahabat “Dihalalkan bagi kami” dan “Diharamkan bagi kami”, ini seperti perkataan, “kami diperintah” dan “kami dilarang”, maka sudah bisa dijadikan hujjah. Inilah yang dinyatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar sebelumnya di At Talkhisul Khobir.

Faedah Hadits

  1. Haramnya darah yang mengalir, diambil dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Pengecualian halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya

  2. Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at

  3. Ati dan limpa itu halal dan suci

  4. Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci
    Makna bangkai belalang adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya.
    Adapun yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan. Demikian juga bangkai ikan adalah ikan yang mati bukan akibat perbuatan manusia, melainkan yang mati begitu saja, baik dengan sebab hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai, atau karena suatu musibah yang bukan akibat ulah manusia. Maksudnya adalah bahwa jika ditemukan telah menjadi bangkai dengan cara apa saja, maka ia halal dan suci. Adapun yang mati dengan sebab oleh sesuatu yang disebut dengan pencemaran air laut dengan bahan beracun atau hal-hal yang mematikan, maka ini diharamkan, bukan karena substansi bangkai ikannya akan tetapi karena racun dari zat-zat yang berbahaya atau yang mematikan tersebut.

  5. Hadits ini menjadi dalil bahwa jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi perubahan itu dengan sesuatu yang suci. Inilah konteks kesesuaian hadits ini di dalam Bab Air.

HADITS KE-13

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar." Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan: "Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya."

HADITS KE-14

 

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ

Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi.

 


 

Rabu, 04 Januari 2023

ANGGOTA SAHABAT KULTUM..

Ketua        : Robi Elfarobi

Sekretaris  :  Neng Tini
                  :  
Bendahara :   Oma Azam
Penasehat  :  
Sie Umum.  : 
Cek.            :  SDPPI.


YEL SAHABAT KULTUM : ALLAHUAKBAR 

001. Yachya Yusliha
002. Robi Elfarobi.
003. Oma Azam. Parmindo
004. Bunda Noor
005. Opa Kinan. Parmindo
006. Oma Ijah. Banjaran
007. Dedi Dayeh kolot
008. Bungsu. Hegar manah
009. Mamang deex. Cigadung
010. Teh Orin. Cimahi
011. Bah Charly. Tanjung sari
012. Bunring. Cibaduyut
013. Ambu Syera. Tanjung sari
014. Nita. Ciparay
015. Agus. Ciparay
016. Joe. Sarijadi.
017. Teh Husna. Paster
018. Mang Dahlan
019. Aki Jilun. Soreng
020. Neng Opes. Cihanjuang
021. Om Brovo. Cihanjuang 
022. KG
023. ABS. Solokan jeruk
024. Yaya. Banjaran
025. Iwan Hartiwan. 
026. Dedi Malangbong
027. Away. Cimaung
028. Agus Pangalengan
029. Bayu Sumedang
030. Bah jenggot. Ciparay
031. Sonay arjasari
032. Hj Tita. Pati ukur
033. H. Zi-i. Pati ukur
034. Uwi. POLBAN
035. Bah Ido. Paster
036. Teh Oyan
037. Citra. Lewi Gajah
038. Surya Cimenyan
039. Ma Urif. Buah Batu
040. Iwan Bedug
041. Mamah Fera. Ciparay
042. Abah Giok. PT.KAHATEX
043. Aki Ahong
044. Wulan. Buah Batu
045. Deden Malangbong
046. Wawan
047. Opik. Ciparay
048. Gofar. Cicalengka
049. Teh Elsya
050. H. Aan. Pangalengan
051. Ica Cinta Asih
052. Teh Evi Ciapus. 
053. Bunda Iin
054. Arman
055. Uni. Lodaya
056. Ayah sepat
057. Kong Aji.solokanjeruk
058. Mang ece
059. Opay Ranca ekek
060. Dani. Jl peta
061. Abah Ragil
062. Oma Ayu. Cimahi
063. Pak Etoy
064. H Hidayat.
065. Wa Zurel
066. Kang BB
067. Wa Age
068. Teh Dera
069. Aang. Cimenyan.
070. Aa kamirung
071. Dayat Kosambi
072. Wa Bangkong
073. Rizal
074. Wa ape
075. Teh Tini kbn kopi
076. Abah kobe
077. Pa Aam Oren cilenyi
078. Kang Dede. BBK Ciparay
079. Acep Deden
080. Markot Gunung Puntang
081. Hendi Ciumbuleuit
082. Ike Cimahi
083. Yudi Rancamanyar
084. Aldo Cimindi
085. Bah Oo Rancabali
086. Deden Dodi
087. Teh Intan
088. Atang Imanuel
089. Bu Hani Daku
090.
091.
092. Uju cililin
095. Aki Ihan
100. Mamah Puput
128. Iwan Hartiwan


JADWAL NGAJI.


Muqodimah dengan baca Al-qur'an

Jadwal ngaji dan sari tilawah
 
QS AL-IMRON 3 : 36

BAGIAN : Teh wulan
SARITILAWAH : Kang Dede Bbk Ciparay



Teh Lilis. Garut
Ketua. Kopi indah
Hj Tita. Paster
Bunda Iin. Jelekong
Bah jenggot. Ciparay
Oma Azam. Parmindo
Oma Ijah Banjaran
BB gunung maung
Neng Tini kebon kopi
Aki Ahong
Mamah fera. Ciparay
Oma Ayu Cimahi


ANGGOTA BARAYA KULTUM SE JABAR.

YEL BARAYA KULTUM : ALLAHUAKBAR

Ketua :  Haji Deden 

 Sekretaris   : 

Bendahara : Haji Deex  

Cek  : SDPPI 

AL-QUR'AN


002. Yachya Yusliha BSI

003. A Jimi Sulaeman.

004. Abah kipray Rancaekek.

005. Abah Ucing Padasuka.

006. Uje Zaenal.

007. BSU Kake Ciskul

008. Abah Tarmedi Ciwastra

009. Haji Deek. Cigadung.

010. Atang Imanuel

011. Euis fatimah garut

012. Abuy Padasuka ini

013. Ahmad Barnas Solokan 

014. Aki Jilun soreang

015. Eyang Anom Pasirhonje

016. AM Hidayat

017. Pak Agus kawaluyaan

018. Pak Hidayat

019. pak Marzuki paramon

020. Bu Rosidah Ujungberung

021. A.Jb Arcamanik

022. Atmo Cikutra

023. Bunda Noor Cibiru

024. Imel.

025. kang Demak Ciburial

026. Haji Deden Dago

027. Haji Fery Dago

028. Neng Ocha Kadungora

029. 

030. Mamah Osin Cililin

031. Kang Dedem Cikutra

032. Wa Eka Nagrog

033. Teh Amel Dago

034. Abah Giok PT Kahatex

035. Haji Leo Tanjungsari

036. Gun S.

037. kang kobra Suleman

038. Teh Maya Padasuka

039. Deni/ Ujungberung

040. kong Anom Cimahi

041. Asep Morang

042. U. Supriatna

043. Hadi Ope Dago

044. Kang Jeki jelekong

045. Elis. 

046. Ayah Sepat UBER

047. Kang Gareng Garut

048. Bah Rama Rancaekek

049. Opay Leles

050. Kang Carli Cicadas

051. Oskar Ujungberung

052. Iwan Garung

053. Wulan Buah Batu

054. Pak Ridho W. 

055. kang Qiu/Ridwan

056. Robin Buah batu

057. Tatang Cartil

058. Pak Teguh Jatinangor

059. Teh Inyoh kencana

060. kang Wildan /Cijapati

061. Pak Yunus /manisi

062. Aki duha (Jatinango)

063. Teh Duri /Padasuka

064. kang Nonoy /Malabar

065. Wa Zurel. Kircon

066. Bugil Ciparay

067. Feri /Majalaya

068. Dayat Kosambi

069. Dadan Kardana Cicalengka

070. Kang Sukoy Cimenyan

071. Kang Koko /Dago

072. kang Syam /kircon

073. Mamah Eva

074. Pak Dadan FOD Gedebage

075. pak Jojo /Cipatik

076. Iwan Bedug

077. Wa Bayu /Lembang

078. Ujang.

079. Melodi /Majalaya

080. Papah Nandang /Koni

081. Bunda Iin /jelekong

082. Gofar /Rancaekek

083. Kang Bon-bon /Arcamanik

084. Teh Ismi /Ciwaru

085. Agus Mulyadi /BTM

086. H koja (10BHK. H Hendra A)

087. Evi Ciapus

088. Rizal 

089. Teh Oyan /Padasuka

090. pak Kobra /Batu jajar

091. pak Yuda /Soreang

092. Pak kojot /panorama

093. Roni Cilember

094. Bu Lisher /GBLA

095. Etoy Caringin 

096. Badrien SP/ Hen-hen /GBA

097. Udin / Katapang

098. Abah Ido Suka Mulya

099. Romeo /Pajajaran

100. Abah Reja /Ujungberung

101. Haji Dudu /Pasir impun

102. Pak Permana KBB

103. Bah Saron /Garut

104. pak Jagastru ( Dimas) 

105. pak Dedi ono

106. Ayah zoni /Cilengkrang

107. Om Sis /Arcamanik

108. Udung /Cimenyan

109. Master /Bungur sari

110. Rizal /Cimahi

111. Firman Nuryakin/Sukarno 

112. Aki Ahong /Sudirman

113. Engkong /Solokan jeruk

114. H. Nn Media /Ibun

115. Neng Noni

116. kang Pacul

117. kang Bahar /Kircon

118. kang Opik /Soreang

119. kang Ijang /Baleendah

120. Teh Wina /Dago

121. Teh Mila /Cinambo

122. Asep Gunawan

123. Juragan anggur

124. Riko Yy /Cikadut

125. Arif.

126. kang Tukul /Baleendah

127. Andi Arman /Katapang 

128. Iwan Hartiawan /Riung B

129. Oman /Jamika

130. Pak Hendra /GBA

131. Teh Sisi /kencana

132. kang Odang /Soreang

133. kang Bugil /Malabar

134. Ujang /Padalarang

135. Erwin /Cimuncang

136. Ajat /Jatinangor

137. Teh Aci /Kordon

138.  Bintang /Sapan

139. Ojon /Kopo.

140. Jek /Majalaya

141. Dinda Amel KTP

142. kang Udung Uber

143. Agus Mitha

144. Mitha Agus

145. Wa Age /Wastukencana

146. Ayah /Ujungberung

147. Wa Edi Setiabudi

148. Opik /gunung letik cpry

149. Abah Donat /Padalarang

150. Pa Mamat /Kamojang 

151. Pa Ruli /Dago

152. Heru Jumhana Antapani

153. Abah Kuncen /Jangor

154. Abah Sobirin /Rancaekek

155. Jebrag /Cikajang YD1AEB

156. Dayat

157. Maman /tanjung Laya

158. Tito /pasir honje

159. 

160. Empap ento 

161. Kang Uko

162. Mama Arjun *giri harja*

163. Bunda Emeh *Bansel*

164. Sonjaya *tetangga pusdai*

165. Oskar.

166. kang Aher/ Bugil *Ciparay*

167. Indara Cimahi

168. D N/ cigending

169. Pa Udin /lokal satu

170  Asep Abeng

171. Bagas /Bukit Bintang

172. Totoy Damkar.

173. 

174. Abah /kerta Sari

175. Pa Yangki /Bojongsoang

176. Bah Ucan /Sindang Panon 

177. Apih /Banjaran

178. Abah Suranta.

179. Kang Juned /Tarogong

180. Pak Dadang /Buah batu

181. Gula-gula /Cianjur

182. Brokap/Maman /Cirengot

183. Pa Heri /Cinangka

184. Kang Ega Nagreg

185. Pak Otong /Gedebage

186. Beno /Banjaran

187. Oblak /Majalengka

188. Ujang buncis /Cipadung

189. Golef Sera /Curug cinulang

190. H. Cecep /Ujungberung

191. Bungsu Hegarmanah

192. Adam / Cicalengka

193. Asep /Bank BRI

194. Ligo ligo /Ciparay

195. Teh Ina /Paramon

196. Masteng /Majalaya

197. Mang ojon /Imanuel

198. Abah piki /Cijapati

199. Harley Cimanggung

200. Aom Rancaekek

201. Apo Katapang

202. Yono /Nagrog

203. M Adimulya Arcamanik

204. Asep Cianjur Ramayana

205. Aki Kren /Lembang.

206. kang Awing psr sederhana

207. Nenk Cinangka

208. kang Cipta Sulaeman

209. Teh Uni Lodaya

210. Kang Awi pasar Caringin

211. Mamah Sinta Parongpong

212. Ayah Bentar

213. Umi. Pasir honje

214. Pa karna /Padalarang

215. Lili Suhaeli /Cikadut

216. Pak Agus Biru

217. pak Koko Rancaekek

218. Sumarni Cipedes

219. 

220. Pa Yaya Cangkuang

221. kang Konel Cipanas

222. Firman. Rancaekek

223. 

224. Deden Dony. Cibolerang

225. 

226. Salim Garut patrol.

227. Bah Ragil Cimenyan

228. JZ10AGW

229. Boyo Cicahem

230. Hani 10BHN

231. 10XAB

232. 10BCY.

233. Ulle YD1BZN

234. Mom Ayu

235. Wawan

236. Jeung Dewi Ibun

237. Teh Intan

238. Dedi/majalaya.

239. Teh Intan

240. Agus.

241. Teh mia/Cimahi

242. Diva / cijerah

243. Joni kemod

244. Empop lembang

245. Windu Babakan Sari

246. Agus Sobur

247. Sudarjono/karebet

248. Budi.

249. Apendi

250. Dokter Tumin Cibiru.

251. Jaenudin ciskul

252. Jetu tanjung sari

253. Beni pangalengan

254. Eco warung petey

255. Bayu/boy

256. Dodo

257. Wendi Soreang.

258. 

259. Gotot Sumedang

260. Mocin

261. Mamah Fera cihareyrey

262. Kang iyan.

263. Abah jambrong

264. Rara

265. Kang Chandra advokat

266. Udin kopo

267. BH /Puyuh dalam

268. Bambang Antapani

269. Demak Kosambi

270. Bambang. Cibiru

271. Ucil Padalarang

272. Ujang Padalarang

273. Ali Topan/garut

274. Deden Cipedes

275. Kong Anom

276. Widi

277. Mang Unang Jelekong

278. Abah Tawes

279. Mawar

280. Agus dayeh kolot

281. Agus/Cipatik

282. Bayu/KPAD PSM

283. Atep (Tanjung Sari)

284. Ipan

285. Imam kosambi

286. Meta Cimahi

287. Jitu Majalaya.

288. Monalisa.

289. Dani jl. Peta

290. Baja

291. GR Cicahem.

292. Herman

293. Lurah Adeng/ Cangkuang

294. Acep Rajapolah

295. Dadali

296. Nandang Pangalengan

297. Agus Suganda

298. Deni Cimahi

299. Pak Dion

300. Enoy

301. Yadi gunung gelis

302. Beno

303. Bakti/Sadang Serang

304. Udung Cicalengka

305. Uju jamika

306. Adi/Setiabudi

307. Bunda Maria YC1CWO 

308. Away /Pangalengan

309. Neng Leni Bansel.

310. Moezhaer Cisarua

311. Aang Pangalengan

312. Cipuk. Pacet

313. Hajah Lia

314. Benter

315. DA/Rancaekek

316. Ahmad

317. Awi Bunter

318. Iyan /Garut

319. Umar bin Khattab

320. Tamrin.

321. Ineng/ Ciparay

322. Toni gunung letik

323. H Mamat jalak harupat

324. Galih

325. Asep/ gatsu

326. Asep.

327. Arjuna bale endah.

328. Dora Dori

329. Gun gun warung kondang

330. AS Aep Saepulloh Pangalengan

331. Master JZ10AAH

332. Brian JZ10BSH

333. Mamah emput

334. Dewo.

335. Zi i/ patiukur

336. Aa/ Lembang

337. Teh Mate Pangalengan

338. Kang Teten

339. Zoos/Dayeh kolot.

340. Bima 

341. Diman jati handap

342. Aan. Kerta sari

343. Kang Nandunk

344. Dera /Majalaya KTA

345. Komik KTP

346. Dongding.

347. Heni. 

348. Jarot. 

349. Asep 

350. Iman/pacet.

351. Iqbal/ garut

352. Matagor

353. Heri 

354. Asep Rudiyanto

355. Wawan cibenying kidul

356. Atung Cimalaka

357. Otoy Garut.

358. Zeky Garut

359. Ike. Cimahi

360. Dani.

361. Asep Nana

362. Muis cibiru

363. Ocay/kircon

364. Ipey Sumedang

365. Ica Bohay

366. Abud 

367. Bah Carli/cilembu 

368. Joe Sarijadi

369. Kijaung

370. Mama Syuta/Sudirman

371. Ajeung Cigadung

372. Chana Cibiru 

373. Bunda Tita

374. Om Buce/Cimahi

375. Rinaldi. Dago

376. BB/Sadeli Cimaung

377. Agus Dayeh kolot

378. Abah Oman

379. Ambu sera KTP

380. Imas ismiati

381. Denok

382. Dian Rufaedah

383. Ola/Majalaya

384. Mita/ Cicadas

385. Yadi Babon.

386. Muji/Cianjur

387. Roy

388. Ma urif/Buah Batu 

389. Aki Anom/Majalengka

390. Tini. Kebon kopi

391. Yusep/Bancey

392. Uday/Cibiru 33

393. Abah jenggot/Ciparay

394. Riky/palintang

395. Teh Nensi/ kamarung

396. Teh kokom

397. Toto/Banjaran

398. HI /Ciparay

399. Abuy Cijawura.

400. Solihin Padalarang

401. Irfan

402. Haji Aan / Pangalengan

403. Apoy /Cilaja

404. Yayat/Soreang

405. Etoy Caringin KTA

406. Dedi Setiadi

407. Umie Mutiah

408. BR./Garut

409. Agus/Cipatik

410. Abu Sopyan/Majalengka

411. Gugun/Sumedang.

412. Eeng Koswara

413. Bambang/Cihanjuang

414. Opes (Dewi Mulyaningsih)

415. Udin /Majalengka

416. Bah Joko/Gedebage

417. Pa Maman/Cikancung

418. Abah Caplin/Soreang

419. Iyan Hidayat

420. Wulan/Pangalengan

421. Jelly/ kebon kopi

422. Fajar/Cianjur

423. Koko Amirudin juga

424. Abah Gunung halu/cililin

425. Duri /Majalaya

426. Wahyudin/banjaran

427. Sodikin/Setiabudi428. Aliando

429. Orin Cimahi

430. Oma Azam parmindo

431. Ikin Soreang

432. Kuncung/Parongpong

433. GS/ Majalaya

434. AGE/Ujungberung

435. Bah Ayan/patrol

436. Didi. Antapani

437. Bu RT. Rajamandala

438. Cucu. Palintang.

439. Dudan/Cianjur

440. Abah lintang Cianjur

441. Enong/limbang

442. Endang/subang

443. Dikdik/jalakharupat.

444. Bah bedil/pucuk ibun

445. Acil/pangalengan

446. Rawing/ Cimahi

447. Aries

448. Ummie Itoh/Cijerah

449. Abah debleng 

450. Dani wayang

451. Ayah Dodi /cijerah

452. Azis Rancaekek

453. Vito kopo.

454. Yaya Kumis

455. Ki Mantri/cirebon

456. Rere.

457. Mamih Raden

458. Juki /lembang

459. JZ10FCC/yayat

460. Ujang/Ujungberung

461. JZ10AAV/Heri Susanto

462. Mamih Ana

463. Mang Adong

464. H. Sholeh

465. Iis Ismiati

466. Ozzi. Ciparay

467. Dewan syuro

468. Abdul Syam. Cicadas

469. Iceu Rancaekek

470. Erwin. Soreang

471. Nagreg

472. Ahmad Setiawan.

473. Jali Cianjur

474. Bambang

475. Ateng Majalaya

476. Datuk

477. Muhrodin/andri

478. Kang Barkah

479. Ambu kencana

480. Awing. Suka Jadi.

481. Elsya Maia (Banjaran)

482. Pak Doddi Permadi

483. Arief Cibiru

484. Bah Rawing Nagreg

485. Ana Pangalengan.

486. Kang Iwung Cilengkrang

487. Neng BL. Munjul

488. Udung Ciburuy

489. Gun gun Ciparay

490. Acuy Tajimalela

491. Hajah Non

492. Uce TKI

493. Icang YD1KBH

494. Teh mawar Bojongkoneng

495. D. Suryana

496. Patin Jati Handap

497. Ece Jalak harupat

498. Asep Majalaya.

499. TX .

500. Bima

501. Atu Margahayu raya

502. Daeng. Cingised

503. Bas Cianjur

504. Gunadi

505. Mantri Sumedang

506. Ayah Bentar 

507. Bu Ayu Banjaran

508. Teh Euli. Ciwaruga

509. Widi Cibiru

510. Sari Banjaran

511. Widi sigma

512. Ibnu

513. Rizka kencana

514. Bu Ros pasir impun

515. H. Tomi Cibeureum

516. Cah udin

517. Asep. 

518. Indra. Cimahi

519. Ani. Cipanas.

520. Intan BR

521. Aldo Cimindi

522. Abd Jabbar

523. Citra. Lewi gajah

524. Bah Uyut

525. Deden. Cimindi

526. 

527. Kang Bangkong. Lanud

528. MS. Wanaraja

529. H. Lengkong. Limbangan

530. Dede BBK Ciparay

531. Virgo

532. Aam Bumi oren.

533. Pa Acuy

534. Kobe polres Cimahi

535. Markos gunung Puntang

536. Dedi Malangbong GRT

537. Away polisi

538. Bah Busang

539. Boncel Cipadung

540. Kang Oces /Buah Batu

541. Lilis Sucinaraja garut

542. Bah jivi kota Waringin

543. Dahlan Parongpong

544. Bah Tiar 

545. Mang Koko. Jln Haji Samsudin

546. Muhtar lewi goong

547. Akung

548. Kang kalong. Pacet

549. Eyang kamojang

550. Iskandar Arcamanik

551. Blek Cianjur

552. H. Beni Pasir impun

553. Nurdin. Ciparay

554. Duyeh. Rancamanyar

555. Deden Malangbong

556. Asbar. Majalaya

557. Dita triwahyuni

558. Aji Soreang

559. Kompor Batujajar

560. Agus cipatik